Sunday, January 31, 2010

Bercerita bersama sore – empat belas

Dega fait des dégâts” itu contoh kalimat favoritnya. Pasti teman-teman sekelas tertawa geli mendengarnya. Artinya? Tak mau ah! Kau cari saja sendiri. Jangan memaksa, Sore! Tidak bagus itu, artinya. Kau cari tahu sendiri saja, oke?

Hihi.. Biarin! Memang aku guru tak bertanggung jawab, khusus untuk kasus ini saja, ya! Haha! Magali, namanya Magali. Guru native pertamaku di kampus, mengajar rédaction, menulis. Perempuan, Sore! Itu kan nama perempuan. Usianya aku tak tahu. Kisaran berapa? Itu juga ku tak tahu. Haha, memang aku tak pandai mengisar usia kok. Lagipula bukan itu yang mau kuceritakan.

Begini, Magali ini ku suka gayanya. Dengan celana panjang model lebar di bawah, apa ya nama modelnya? Dipadukan dengan kemeja dan cepolan tambut ikalnya, sungguh ku suka. Bukan itu saja, juga cara mengajarnya. Jelas dan mudah dimengerti. Selain mengajarkan menulis, Magali juga suka mengajak kami berdiskusi, tentang fenomena sosial yang diangkatnya dari artikel Prancis yang kemudian kami hubungkan dan bandingkan dengan keadaan di Indonesia.

La peine de mort atau la peine capitale, hukuman mati. Salah satu tema yang kami bahas seru di kelas. Masih terasa antusiasme orang-orang di kelas hari itu. Magali membawa artikel tentang negara-negara Eropa, termasuk Prancis yang sudah menghapus hukuman mati sejak bertahun-tahun lamanya. Di artikel itu tertulis bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup dan kita sebagai manusia tidak memiliki hak atas nyawa orang lain. Kita tak boleh membunuh, mengapa kita akhirnya melegalkan pembunuhan, begitulah kira-kira isi artikelnya.

Pembahasan artikel melebar saat Magali menanyakan pendapat kami tentang hukuman mati, ada yang setuju dan tentu saja ada yang menentang. Kami pun memaparkan alasan sikap kami tersebut, dan bagi yang mendukung, diminta juga untuk menjelaskan kejahatan apakah yang pantas mendapat hukuman mati.

Aku, suka sekali berdiskusi, Sore. Suka sekali. Terutama tentang manusia dan kehidupannya. Siang itu Magali mempertanyakan kepasifanku di kelas, tak seperti biasa, ujarnya. Wahai Magali, dosenku, maaf kala itu tak bersuaraku. Kini untukmu, hanya untukmu, kusampaikan pendapatku.

Ku sependapat dengan orang-orang Eropa bahwa manusia tak berhak pada nyawa manusia lainnya. Hanya Tuhan yang punya kuasa, Sang Peniup Nyawa. Tapi Magali, ada satu kejahatan yang tak termaafkan untukku, kejahatan yang sekiranya untuk menghentikannya perlu lah diterapkan itu hukuman mati. Karena kejahatan yang satu ini tak kunjung habis siksaannya, tak berujung dan terus menyebarkan kejahatannya. Pengedar narkoba.

Perlu lah menghukum mati mereka semua. Karena kejahatan yang tak terlihat langsung kejahatannya ini tak tanggung-tanggung menyebar siksanya. Lihatlah negaraku ini sekarang, Magali. Lihatlah! Betapa berbahagianya para pengedar narkoba itu, yang masih bernafas di atas siksa para korbannya. Pemakai, ibunya, ayahnya, kakak dan adiknya, istri, suami dan anak-anaknya, tetangganya, teman-temannya, sahabatnya, gurunya, rekan kerjanya, presidennya, bangsanya.

Kau setuju dengan ku kah, Magali? Maaf harus ku tunda sekian lama untuk membaginya, maaf. Semoga kau tak lagi kecewa padaku setelah ini, bukannya ku tak ingin menyampaikannya padamu sedari dulu, hanya saja suaraku tersedak kala itu, tersangkut di kerongkongan, tak kunjung keluar. Kulupa bahwa kau ajarkan ku menulis, kini menulis ku untukmu, Magali.

Aurélie, guru nativeku yang kedua. Mengajar kelas lanjutan Magali. Imut, satu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan rambut pendek keritingnya, tubuh kecil serta wajah polos nan pintar berkacamata. Volume suaranya di kelas pun jauh berbeda dengan Magali. Berbeda.

Peta, itu yang kuingat darinya. Menemukan fakta bahwa geografi kami tentang Prancis bisa dibilang hampir tidak tahu apa-apa, Aurélie membelokkan materi ke bidang ini, yang sesungguhnya bukan bagiannya. Maka belajar kami tentang Prancis negeri hexagon karena bentuknya yang menyerupai segi lima, kami berjalan-jalan mulai dari lapisan luarnya; pembatas daratan maupun lautan, masuk pula kami ke dalam, menghampiri kota-kota besar, mendaki gunung dan bukitnya, juga berbasah-basahan di sungai indahnya.

Peta oh peta, kini aku paham mengapa Dora sungguh mencintainya. Bukannya aku baru mengenal peta, tapi oh, entah apa yang membuatku sekarang menyukainya, peta. Di mana dunia bercerita, tentang dirinya. Tapi Aurélie, aku tak bisa mengingat semuanya, sepertimu. Kurasa cukup sementara kala ku seringkali tergoda melihatnya, peta dunia, untuk kemudian mendengarnya bercerita.

Ah, kau tahu siapa yang banyak mengajarkanku bercerita, dalam bahasa Prancis, terutama? Madame Amalia namanya, Amalia Saleh. Madame Amal, begitu kami memanggilnya, kalau Saleh nama ayahnya, begitu cerita Madame pada kami di salah satu kelasnya.

Bonjour, je m’appelle Amalia. Et vous, vous vous appellez comment?” Itu kalimat pertama Madame di kelas, Sore. Masya Allah, batinku. Bicara apa, guruku itu ? Terdengar keren, memang, tapi aku tak paham. Dan sepertinya bukan aku saja yang kebingungan, Sore. Maka Madame mengulang kembali kalimatnya, perlahan. Dan voila ! Mengerti aku. Itu Madame bilang kalau namanya Amalia, terus bertanya nama kami siapa. Menjawab kami satu per satu, iya, dalam bahasa Prancis donk, Sore! Berurutan mengikuti jari Madame.

Harus sistematis, itu pesan yang melekat amat rekat di otakku. Pesan Madame. Kalau bercerita, baik lisan maupun tulisan haruslah kubuat kerangka terlebih dahulu. Salah satu cara favoritku adalah dengan mempereteli judul lalu memaparkannya, mengelemnya satu per satu lalu memberi informasi berdasarkan fakta, dan tak lupa, menyimpulkan dengan mengikutsertakan pendapat pribadiku. Sangat penting kata Madame, menyuarakan pendapat kita. Untuk menunjukkan pada orang, juri saat ujian, bahwa kita ikut serta di cerita dunia, kita melihat, mendengar juga ikut merasa. Setuju atau tidak setuju kita punya alasan, yang kita cipta sendiri, bukan ikut-ikutan.

Jangan ragu untuk menutup dengan saran atau masukan, tak perlu takut menyampaikan hanya karena juri atau siapapun yang mendengar tak bisa membantu kita, tak perlu. Dengan bersuara saja, kita sudah mengeluarkan diri kita dari kumpulan orang-orang yang tak berbuat apa-apa untuk dunia ini, begitu. Dan kau tahu, Sore. Sejak itulah, di kelas Madame Amalia, kusuka berbicara, bercerita. Tak ragu ku menatap dunia, mengikuti perjalanannya, dan tentu saja untuk kemudian kutangkap dan kumaknai. Yang kini kuceritakan juga padamu, Sore. Semoga kau suka, ya!

Membaca? Kalau itu di kelas yang lain, Sore. Madame Mardiani pemiliknya, pencinta karya sastra. Itu yang kami pelajari di kelasnya, sastra Prancis, mulai dari Gargantua hingga l’Oeuvre au noir. Di kelas Madame kupahami cerita Sartre, kutahu kisah hidup Simone de Beauvoir, terbuai ku oleh indahnya puisi-puisi Apollinaire, menangis bersama Paul Verlaine, dan akhirnya bertemu ku dengan ”teman” satu dunia, Saint Exupery.

Oh, Madame! Betapa ku haus akan membaca. Masih lekat di ingatanku le travail de syntagmatique et paradigmatique. ”Jangan lupa! Setiap menyelesaikan satu buku, bedah bukunya ya!” ”Oui, Madame,” begitu jawabku dalam hati. Tapi sekeluarnya ku dari kelas Madame, belum pernah kumulai lagi tâche itu. Nanti Madame, nanti, suatu hari nanti. Haha! Mudah-mudahan tidak hanya sekedar janji.

Iya, benar. Kini kau tahu di mana ku mengasah ini semua, bukan? Benar sekali, Sore. Menulis, berpetualang mencari cerita bersama peta, berbicara, berdiskusi, membaca.

Bagaimana caraku berterima kasih pada mereka, Sore?
Benar, ku juga berpikir seperti itu. Kau sependapat, ternyata.
Baiklah. Senang rasanya mendapat ”iya”, terutama darimu.

Aku, akan terus menulis, bercerita.
Berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat baru, mempelajari cerita dunia.
Berbicara, mengeluarkan pendapat, berdiskusi tentangnya.
Membaca dan membaca, karena sebelum keluar melalui pintu, aku butuh itu jendela dunia, untuk mengintip, menatapnya, ’tuk kemudian mendapatkan cerita langsung darinya, dari dunia.

Chères Mesdames, rien ne peut décrire mon grand merci.
Mais voilà, mes écritures, mes histoires.
La preuve de la continuité du travail que vous m’avez donné.
La continuité qui s’arrêtera à la fin de ma vie.


-bersambung-

Friday, January 22, 2010

Bercerita bersama sore - tiga belas

Ang, de, trowa. Ayo lagi! Ih, memang begitu bacanya, tahu! Beneran, Sore! Jangan tertawa terus, dong! Serius. Harus serius kita belajarnya. Itu tulisannya; un, deux, trois. Tapi bukan begitu cara bacanya. Ya seperti yang kuajarkan tadi, ang, de, trowa.

Hahaha.. Kenapa jadi geli sendiri? Tadi siapa yang bilang mau belajar? Kuajari malah ketawa-ketawa sendiri. Tak percaya ya aku pernah jadi ibu guru? Cukup lama, dari tingkat dua, semester tiga waktu aku kuliah.

Muti, murid pertamaku namanya Muti. Belajar bahasa Prancis karena permintaan mamanya. Muti pasti sudah besar sekarang, sudah kuliah. Dulu masih SMP ia, walau badannya seperti anak SMA, tinggi. Lebih tinggi dariku, yang jelas. Setiap ku datang dan pulang, Muti akan mencium tanganku. Ini kali pertama aku punya murid, Sore! Kali pertama juga tanganku dicium penuh hormat. Ternyata begitu ya rasanya? Tak heran guru adalah profesi yang membahagiakan. Muti harus membungkukkan badannya saat mencium tanganku, ya karena itu, karena tubuhnya terlalu tinggi. Hihi..

Espace 1, itu buku yang kugunakan untuk belajar bersama Muti. Buku yang juga kugunakan kala belajar di kampus. Muti belajar dari dasar, sepertiku juga, seperti kau juga. Ang, de, trowa. Haha! Pintar sekali Muti ini, Sore. Di pertemuan pertama saja, materi yang kusiapkan habis dalam waktu satu jam. Jadilah setengah jam berikutnya kami belajar materi baru tanpa persiapan terlebih dahulu. Sudah, satu jam pertama sudah termasuk pengulangan dan latihan. Memang tak biasa, Muti ini.

Aku juga tak biasa, tak biasa mengajar. Tapi SAP yang aku buat sudah kukonsultasikan dengan Kak Meiji, senior kesayanganku di kampus. Apa? SAP? Oh, Satuan Acara Pengajaran, isinya rencana pengajaran yang disiapkan guru per pertemuan. Kusampaikan kecepatan Muti ke Kak Meiji, dan dia bilang memang kadang ada murid yang cepat sekali menangkap pelajaran dan Muti salah satunya. Jadi, mulai pertemuan selanjutnya kutambah materi khusus untuk Muti.

Aku dan Muti belajar bersama setiap Sabtu pagi, jam tujuh di rumah Muti. Awalnya Imam ikut serta, Imam itu adiknya Muti. Tapi karena Imam harus belajar bahasa Indonesia pada jam yang sama, dan bahasa Indonesia lebih mendesak sifatnya, terpaksa dia meninggalkan kelas kami. Rumah kami berdekatan, itu salah satu alasan aku mau mengambil kesempatan mengajar ini, selain ingin terjun langsung ke dunia pengajaran, setelah di kampus aku banyak dicekoki dengan teori-teori pengajaran. Dengan dorongan semangat dari Kak Meiji, aku akhirnya berhasil mengalahkan ketidakpercayaandiriku untuk mengajar. Terima Kasih Kak Meiji.

Aku lupa berapa lama aku dan Muti belajar bersama, tapi cukup lama. Setahun lebih, kukira. Diakhiri karena Muti tak ada waktu lagi, kewalahan setelah terlalu banyak kegiatan. Sudah kelas tiga SMP dia, ikut ekskul juga, ditambah bimbingan belajar di mana-mana. Tapi aku tetap sering bertemu Muti, di sekolahnya. Sekolah yang letaknya satu komplek dengan kampusku. Bagaimana kabarmu sekarang, Muti?

Murid kedua, Tante Yani, tantenya Putri. Putri itu sahabatku dari SMA. Tante Yani akan bertuga ke luar negeri, ke Niger katanya. Jadi butuh kursus bahasa Prancis singkat sebelum pergi ke sana. Tante Yani bekerja untuk Departemen Luar Negeri, yang waktu itu terdengar keren sekali karena bisa sering jalan-jalan ke luar negeri, begitu saja pikirku. Setelah berhubungan lewat telepon akhirnya disepakati bahwa kami akan belajar dua kali dalam seminggu, tiap sore hari, sepulang Tante Yani bekerja.

Belajar kami di salah satu kamar di rumah Putri, lagi-lagi berbekal buku Espace dan kumpulan kata-kata yang sudah kususun berdasar tema. Teknik mengajar pun berbeda dengan Muti, karena kata Kak Meiji, Tante Yani harus langsung praktek mendengar dan berbicara. Pragmatis. Berkenalan, berhitung, bertanya dan menjelaskan arah, berbelanja, memasak, percakapan singkat di bandara, kantor polisi, imigrasi, juga hotel. Satu bulan kami punya, delapan kali pertemuan.

Tahu tidak? Tante Yani tak kalah dengan Muti, cepat sekali! Cepat sekali daya tangkapnya. Belajar kami, berlatih menulis, membaca serta bercakap-cakap. Taraaa!! Di pertemuan terakhir, ajaibnya, aku yakin Tante Yani siap menjalankan tugasnya, dengan bahasa Prancis sederhana yang sudah dikuasainya. Tante Yani, memang pintar sekali. Lagi-lagi kuceritakan pada Kak Meiji.

Selanjutnya mengajar ku di sekolah, Sore. SMIP, Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata, dalam rangka Praktek Pengalaman Lapangan atau PPL. Ini salah satu syarat kelulusan, dan harus di lakukan di semester ke sembilan. Jadi begini, Sore. Dosen kami menempel daftar sekolah-sekolah yang bersedia bekerjasama di mading. Jumlah mahasiswa yang ditampung di tiap sekolah berbeda-beda. Nah kami, mahasiswa, berebut mencantumkan nama di sekolah pilihan. Biasanya yang terdekat dari rumah, karena seperti kau tahu, Sore, sekolah dimulai pada pukul tujuh, itu berarti kami harus sampai sebelum itu, pagi sekali.

Aku memilih SMIP Paramitha, letaknya dekat rumah, hanya setengah jam untuk ke sana. Naik angkot sekali, bayar dua ribu. Berlima kami di sana, aku, Dian, Anast, Dewi dan Putri. Setelah sebelumnya menyiapkan baju-baju khas ibu guru, kami datang ke sekolah diantar oleh Monsieur Nuryadin, itu bapak dalam bahasa Prancis, dosen pembimbing kami. Tugasnya memantau kegiatan kami selama tiga bulan di sana. Ada juga guru pamong, Monsieur Aji, yang dulunya mahasiswa di kampus kami juga. Mereka berdua yang akan menilai kelebihan dan kekurangan kami dalam mengajar dan bekerja sama di sekolah, bukan hanya dengan murid-murid saja, tapi dengan guru-guru dan staf sekolah. Nilai yang menentukan apakah kami lulus PPL atau tidak, dan juga secara tidak langsung menentukan apakah kami dapat memulai menyusun skripsi kami atau tidak. Karena kalau belum lulus PPL, kami tidak boleh secara resmi menyusun skripsi. Skripsi itu tugas akhir perkuliahan, Sore. Nanti kuceritakan lebih lengkap ya..

Sekolah ini cukup besar, Sore. Posisinya sangat strategis untuk tempat belajar, mudah dicapai karena dekat jalan raya yang dilewati banyak angkutan umum, dan juga terletak di pojok, diapit bangunan-bangunan bertembok tinggi, hingga hanya ada satu pintu masuk yang membantu mengontrol lalu lalang murid. Suasananya juga sepi, tidak berisik. Ada dua bangunan di sana, yang besar terletak di depan tempat kelas-kelas nasional, kami menyebutnya. Bangunan kedua agak ke dalam, lebih kecil, tempat kelas internasional, restoran dan staf yayasan. Keduanya bertingkat. Oh iya, di belakang gedung besar ada deretan kantin.

Kelas nasional dan internasional mempelajari materi yang sama, bedanya hanya pada bahasa pengantarnya saja. Benar, di kelas nasional berbahasa Indonesia, internasional bahasa Inggris. Empat temanku mengajar di gedung pertama, aku di gedung kedua, sendiri. Guru pamong kami melepas kelas internasionalnya selama tiga bulan dan berkonsentrasi penuh bersama keempat temanku di kelas nasional. Jadilah aku sendiri, Sore, di gedung yang satu lagi. Guru pamong yang menentukan aku supaya mengajar empat kelas, tiga kelas dua, dan satu kelas tiga.

Tidak hanya mengajar bahasa Prancis, kami juga harus piket. Duduk di satu meja seharian, mendata siswa yang absen serta menerima tamu-tamu. Hari-hari di sana hampir selalu menyenangkan dengan segala ceritanya. Bagian terbaik selain kala mengajar adalah saat makan siang. Berkumpul kami semua di restoran, guru-guru, menikmati makan siang yang menu dan rasanya selalu enak. Makan siang disediakan oleh yayasan, dimasak oleh staf sekolah setiap harinya.

Menu favoritku; sayur santan daun singkong, ikan asin yang ku tak tahu namanya, tahu goreng dan kerupuk udang. Waaa... jadi terbayang-bayang, Sore! Oh iya, seragam di sekolah ini bagus-bagus, baik desain maupun warnanya, unik. Jadi ketika kami ikut lomba Pekan Bahasa Prancis tingkat SMA murid-murid kami cukup mencolok, karena seragam mereka yang cantik itu.

La Semaine Française, itu namanya. Pekan Bahasa Prancis, artinya. Saat di mana jurusan bahasa Prancis di kampusku, ada acara pemutaran film, seminar dan lomba-lomba untuk murid SMA. Sekolah kami mengikuti empat lomba, vocal group, nyanyi solo, story telling dan cerdas cermat.

Je lui dirai, lagu yang dinyanyikan Celine Dion, itu lagu yang kami pilih untuk lomba vocal group. Temanku Dian yang melatih para siswa yang jumlahnya kalau tidak salah sepuluh orang, ditambah dua orang yang mengiringi dengan gitar. Aku dan Anast membantu dengan menjadi pengarah gaya. Haha! Kau tahu ada berapa peserta yang mengikuti lomba ini, Sore? Tak terhitung. Haha! Berlebihan. Sepertinya sampai dua puluh sekolah. Sekolah kami dapat nomor urut hampir belakang, jadi murid-murid ada yang sudah bosan, ada yang tak bersemangat karena tidak percaya diri setelah menonton peserta lain seharian, ada yang semangat sekali karena yakin bisa menang.

Dan kami, para guru PPL, mencuci otak mereka sebelum naik ke panggung. Kami katakan, ”Kalian itu bukan peserta, tapi bintang tamu! Kenapa harus deg-degan?” Lalu ada yang menyeletuk, ”Kok bintang tamu, Mademoiselle?” Aku jawab saja, ”Ya iya lah, wong kalian jauh lebih bagus daripada peserta yang lainnya. Masa mau dibandingin?” Hahahaha... Yang lain juga tertawa, Sore. Lalu mereka jadi bersemangat dan penuh percaya diri, berlebih malah.

Akhirnya, di sana mereka, dua belas anak didik kami, bernyanyi setelah satu bulan berlatih. Bernyanyi mereka dan berimprovisasi. Berteriak kami, aku tepatnya, dari bawah. Tak tahan melihat mereka, senangnya. Bernyanyi mereka dan bernyanyi sampai para juri terkesima dan tersenyum setelah sedari tadi tampak kebosanan oleh penampilan peserta lain yang semuanya hampir sama, tak berani beda.

Lomba selanjutnya, nyanyi solo. Aku tidak bisa bercerita banyak, Sore. Karena untuk lomba ini aku tak banyak terlibat. Lagi-lagi temanku Dian yang melatih murid kami ini. Kelas satu, wanita, bersuara tipis dan lumayan tinggi. Aku lupa namanya. Kudengar beberapa kali suaranya menyanyikan le vol d’un ange, cantik sekali. Tapi sayang, ketika lomba, musik pengiringnya kacau, jadi merusak penampilan anak kami ini.

Story telling, lomba yang ini tanggung jawabku. Siswa kelas tiga, wanita juga. Bersemangat ku bercerita tentang Cinderella, Cendrillon bahasa Prancisnya. Bercerita ku dalam bahasa Prancis, tentang kisah salah satu gadis favoritku ini. Ku ceritakan kembali padanya, pada murid yang satu ini. Berjanji kami untuk berlatih, setiap pulang sekolah. Tapi dasar kurang motivasi, tidak muncul dia setiap hari. Jadilah aku ikut melatih cerdas cermat bersama teman-teman yang lain.

Cerdas cermat, pesertanya dua murid laki-laki, satu perempuan, kelas tiga semua. Berlatih kami setiap hari, bersemangat luar biasa mereka. Aku dan Anast senang sekali mengadu mereka. Haha! Iya, seperti ayam saja. Niat kami adalah agar ketiganya sigap dan terbiasa memencet bel, kami tak suka pada pembagian tugas memencet bel. Memangnya kenapa kalau dalam satu grup ketiganya memencet bel? Bukankah itu bertanda ketiganya tahu jawabannya, dan pasti kami sebagai guru mereka bangga melihatnya. Haha!

Benar saja, terjadi itu, Sore. Kala peserta cerdas cermat lain terlihat rapih dan tenang ketika lomba, anak-anak kami rusuh sekali karena mereka berebut memencet bel yang hanya ada satu itu. Haha! Benar-benar menyenangkan melihatnya! Aku dan Anast duduk bangga di hadapan mereka, di bawah panggung. Kau harus lihat itu, Sore! Betapa lomba jadi seru karena aksi mereka, yang ricuh dan saling berdebat hampir di setiap soalnya. Tapi ada hasilnya! Karena ketiganya gesit luar biasa, hampir semua soal dialahapnya.

Lolos. Tiga tahap sampai babak final. Itu hari terakhir, menonton kami semua, berlima juga Monsieur Aji, guru pamong kami. Duduk kaku karena tegang, murid-murid lain juga tegang, padahal lomba mereka sudah usai, hanya tinggal tunggu pengumuman saja. Harus tegang karena ketiga anak kami yang di atas panggung panik luar biasa mengikuti babak final ini. Malah lawan mereka dari sekolah-sekolah berprestasi, lagi! Ada juga yang lama tinggal di luar negeri dan berbahasa Prancis. Tapi lagi-lagi kami sudah mencuci otak anak-anak kami hingga mereka kini sudah panik tapi tak sabar berlomba.

Ada tiga babak, konsentrasi penuh. Para penonton tidak ricuh. Aku dan Anast berbisik-bisik pelan setiap mendengar soal, saling memastikan apakah kami sudah memberikan materi ini. Kau harus lihat wajah ketiga juri, Sore! Mendecak kagum mereka melihat murid-murid kami yang, lagi-lagi melahap banyak soal. Membuat peserta lain yang juga pintar-pintar, gusar. Iya betul, mereka lincah sekali memencet bel, selain tahu jawabannya, ya! Hehe..

Cukup jauh skor mereka dengan dua grup lainnya. Dan tentu saja, kami menang telak! Juri pun bertanya kepada mereka, siapa gurunya? Anak-anak menyebutkan nama kami semua, sambil berterima kasih dalam bahasa Prancis. Dan kau tahu, Sore? Aku, Anast, Dian, Dewi dan Putri sibuk menangis. Menangis terharu. Dosen kami, yang juga juri lomba kali itu pun mengucapkan selamat, padahal kan bukan kami ya pesertanya? Hihi..

Acara selanjutnya adalah pengumuman pemenang atas semua lomba yang sudah dilaksanakan dua hari sebelumnya. Duduk kami bersama, murid dan guru. Hingga pembawa acara mulai mengumumkan, ”Juara pertama lomba cerdas cermat, SMIP Paramitha!” ”Yeaaaahhhh!!!” itu kami bersorak bergembira, saling berpelukan. Murid kami yang tiga naik ke atas panggung. ”Juara lomba nyanyi solo, sekolah X!” ”Yeaaahh!!!” kalau yang itu bukan kami yang bersorak gembira. ”Gak pa pa.. Gak pa pa..” spontan kami menenangkan murid kami, si le vol d’un ange. ”Juara lomba story telling, sekolah Y!!!” ”Yeaaahhh!!!” Yang ini juga bukan suara kami. ”Gak pa pa..” Yang lain menghibur anak kami peserta lomba, tapi aku tidak. Karena aku masih kesal padanya, malas latihan. ”Pemenang lomba vocal group, SMIP Paramitha!!!” ”Whaaaattt??? Yeaaahh!!!!” Itu kami, Sore! Itu kami! Kami menang lagi! Juara satu lagi!

Berdiri kami semua, besorak ramai, bergembira, sambil menangis tersedu aku. Bukan hanya aku, Anast, Dewi, Dian, juga Putri, Menangis kami sampai mata bengkak. Menangis terharu. Ternyata begini ya rasanya, pikirku. Bagaimana jika anak kami jadi presiden ya?

Itu mereka, lima belas anak kami di atas panggung. Bersiap menerima piala dan hadiah sambil difoto oleh banyak orang. Tiba-tiba pembawa acara mengumumkan lagi, ”Ada satu pemenang lagi, juara umum, untuk sekolah paling berprestasi. Dan, juara umum untuk La Semain Française tahun ini adalah, SMIP Paramitha!!!” Masya Allah, Sore ! Tidak selesai-selesai kebahagiaanku, kebahagiaan kami. Baru saja kering air mata, mengucur lagi. Tak tahan, aku dan Anast menangis sampai lemas. Sampai sampai salah satu dosenku ikut menenangkan dan berkata, ‘Selamat ya kalian, sukses sekali! Selamat ya!” Aduh, Sore. Luar biasa, itu luar biasa!

Air mata menutupi pandanganku, ketika sudah kering, kulihat itu anak-anak kami juga menangis terharu. ”Merci Mesdemoiselles, merci Monsieur!” ujar mereka dari atas panggung. Tunggu! Biar kuabadikan lagi pemandangan kala itu.

Sepertinya tak satu pun dari kami ingin hari itu berakhir. Tak satu pun. Bahkan Putri, yang susah payah menyetir mobil Carry milik sekolah guna mengangkut kami ke tempat lomba. Tak kepayahan dia, malah tambah ngebut saja pulangnya. Ternyata terlalu semangat bisa membahayakan juga, Sore. Itu, si Putri sampai sering lupa menginjak rem saat melintasi polisi tidur. Jadilah kami terpelanting di dalam mobil. Kami, lima guru dan tujuh belas murid di dalam satu Carry.

-bersambung-

Wednesday, January 20, 2010

Pukoroci

Pukoroci. Begitu biasa dia memanggilku. Bukan, dia bukan bosku. Bukan juga teman apalgi ibuku. Dia, orang yang membawaku kemari. Ke tempat tinggi ini. Tempat di mana aku bisa melihat gedung-gedung bertingkat. Tempat ini pun kuyakin bertingkat banyak, tapi aku tak tahu aku di tingkat berapa. Tinggi, itu pasti.

Dulu aku tinggal bersama kawan-kawanku. Bersama kami di etalase kaca, lantai dasar. Aroma menggiurkan menyelimuti hari-hari kami. Banyak orang datang di siang hari, datang mereka beramai-ramai dalam sebuah kotak beroda empat. Kotak yang ditinggalkan di halaman muka, turun mereka dari sana dan tring, bel pintu berbunyi saat didorong. Pasukan berseragam kemudian akan bergerak ke sana kemari membawa piring-piring berwarna senada, putih.

Kawan-kawanku seringkali pergi satu per satu, ikut orang-orang itu. Mereka selalu membawa temanku sambil tersenyum. Sepertinya mereka suka padanya, pada kami. Karena bentuk kami semua sama, tiada beda. Hanya nasib saja yang membuat kami punya cerita yang berbeda-beda.

Siang itu giliranku. Seorang pria berseragam mengeluarkanku dari etalase, dibawanya diriku ke sebuah meja. Ada lima orang di sana, empat pria dan satu wanita. Sang wanita menyambutku dengan senyumnya, manis, kusuka. Dipegangnya diriku erat.

Aku pergi, saat itu aku tahu bahwa aku akan meninggalkan teman-temanku. Tring, tahu-tahu kulihat temanku berjajar dari luar. Berjajar di dalam etalase, berdiri manis. Ku sunggingkan senyum terbaikku, selamat tinggal teman-teman. Kini tiba giliranku.

Bagus juga ternyata isi kotak beroda ini. Duduk ku manis di pangkuan, sambil menyimak pembicaraan teman-teman baruku. Tak sadar berhenti kami di depan sebuah gedung tinggi. Kotak berhenti sebentar, menuruni kami semua. Mobil, ternyata si kotak punya nama. Kalau yang ini memang gedung, aku tahu itu! Dulu aku pernah berpindah dari satu gedung ke gedung-gedung lain. Sudah tak asing lagi aku akannya. Mesin ini, sudah sering juga kulewati. Seperti pintu tapi tak berpintu yang akan berbunyi kala dia tak suka pada apa yang lewat di bawahnya. Jangan sampai dia berbunyi kala kau lewat, karena artinya penjaga di sampingmu akan menggeledah tas dan meraba tubuhmu.

Mesin ini, sudah sering juga kunaiki dulu. Kotak yang hanya bisa bergerak ke atas dan ke bawah guna mengangkut apa saja. Pencet tombol di tengah, pintu akan terbuka. Setelah masuk jangan diam saja, pencet lagi salah satu tombol yang tersedia, dan lampu akan menyala jika sudah tiba. Pintu terbuka, kemudian keluarlah dari kotak.

Pintu ini, kaca, seperti di rumahku yang tadi saja. Tapi yang ini tidak bertring. Wow! Tempat baru, sepertinya aku sudah tiba. Didudukkan aku di meja, besar dan kayu. Manis ku di pojok kiri, diapit kotak hitam tempat kertas-kertas dan kaleng permen.

Hihi! Geli sekali. Wanita tadi mengusap-ngusap sekujur tubuhku. Geli, sudah lama tak ada yang menyentuhku begini. “Pukoroci. Mulai sekarang namamu Pukoroci,” itu dia yang memberi nama. “Haha! Nama apa itu? Gak ada yang lebih lucu?” kalau yang ini salah satu pria yang kutemui tadi. “Ih! Ini sudah lucu tau! Beda, pasti gak ada yang punya kecuali dia! Iya kan Pukoroci?” aku dielus-elus lagi. “Haha.. kasihan dia sudah jauh-jauh, eh dikasih nama Pukoroci.” Tak apa, aku suka nama itu. “Biarin! Yang penting aku suka!” Iya tak mengapa, aku juga suka, sungguh.

Itu hari pertamaku. Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan menemaninya bekerja. Hafal sekali ku cerita hariannya; tiba jam delapan tiga puluh, ditaruh tasnya di bawah meja, dia hidupkan komputer di hadapannya, klik klik kemudian bunyi itulah yang akan kudengar seharian, juga bunyi kring kring kring. Itu teman-teman baruku juga, komputer, telepon, printer, mesin fax, masih banyak lagi.

Mereka semua teman-teman yang tak pergi setelah jam lima sore hari. Tinggal kami bersama di sini, di ruangan ini. Kadang panas, kadang dingin sekali. Kala kedinginan, dia akan mengenakan syal hitamnya, yang selalu ada disampirkan di punggung kursi. Di sore hari, sebelum pulang, dia akan mengintip melalui jendela. Mengintip ke bawah, memantau keadaan jalan. “Aduh! Macet lagi!” begitu katanya kala ada banyak kotak beroda di bawah. “Tumben gak macet!” itu katanya juga kala kotak-kotak tidak berseliweran di bawah sana.

Di hari Sabtu dan Minggu kala dia tidak datang, kulakukan itu kebiasaannya di pinggir jendela. Menatap jalan di bawah sana. Kau tahu menatap jalan bisa jadi sangat membosankan? Iya benar, membosankan. Karena tak ada yang bisa dilakukan selain menatap dan menatapnya.


Tak jarang kuikuti juga kebiasaannya yang lain. Minum di jendela. Baru sadar aku, mengapa suka sekali ya dia duduk di pinggir jendela? Kupinjam gelas hitamnya, kuisi air dan dudukku bersamanya, di sisi jendela.

Tiba-tiba, terlintas sesuatu di pikiranku. Bagaimanakah kabar teman-temanku yang lain? Masih kah mereka di etalase, atau sudah pergi dengan kotak beroda?

Bercerita bersama sore – dua belas

Katanya sih sekolah artis, Sore! Iya itu karena tak terhitung lagi alumni sekolah ini yang menjadi artis, tak hanya artis tapi juga selebritis. Aku? Aku juga artis, tahu! Artis tingkat RT! Hahaha… Siapa saja? Ah, memangnya kalau aku sebutkan, kau kenal mereka? Makanya, percaya saja yah..

Sekolah artis ini besar sekali, bahkan teman-temanku yang dari Prancis pun setuju. Sini, sini, geser sedikit! Memang besar, kan? Lihat itu ada beberapa gedung. Ada satu, dua, tiga, empat sama masjid. Ada empat bangunan. Itu memang masjid kami, Sore. Jadi boleh dihitung juga. Gedung satu yang berpodium itu, tempat kami melaksanakan upacara bendera tiap Senin pagi. Kedua, gedung baru tempat murid-murid kelas satu. Ketiga, ada di belakang, isinya laboratorium semua, ada rumah kaca di depannya. Masjid, ada di belakangnya. Memang muridnya banyak, Sore. Jadi kami butuh gedung yang luas. Lapangan basket? Iya, ada tiga. Karena sekolah ini juga terkenal dengan prestasinya dalam bidang ini, termasuk pemandu soraknya yang seksi-seksi. Aku? Haha.. aku belum seksi waktu itu, jadi tak bisa ikut cheers. Oh iya, kalau deretan kantin dihitung juga, jadi ada lima bangunan. Memang kantinnya luas sekali, membentuk huruf L dan bertaman luas di depannya. Enak ya? Ada tahu goreng jumbo terenak sedunia, es belewah yang disajikan di gelas besar, mie yamin yang gurih luar biasa, roti bakar dengan selai aneka rasa, aneka soto mulai dari betawi sampai sulung. Jadi lapar aku, Sore! Hehe..

Kau lihat di hadapan kantin ada kotak kecil beratap? ITu tempat latihan tinju. Yang itu namanya sansak, boleh kita tinju kalau kita kesal. Aku pernah mencobanya kala tak ada yang sedang latihan. Rasanya lumayan, Sore! Keras memang, tapi bisa membuatku merasa seperti jagoan. Tapi tak sanggup kutinju dia kuat-kuat, bisa remuk jariku! Ah, mungkin jika kukenakan sarung tangan seperti yang Nevi kenakan, akan lebih aman. Nevi, dia teman sekelasku yang suka latihan tinju.

Aku? Aku suka latihan nyanyi untuk upacara pagi, fotografi di hari Minggu, juga teater di sore hari. Ketiganya kusuka, Sore! Tapi teater tak bertahan lama karena apa ya? Aku lupa alasannya. Bernyanyi untuk paduan suara dan fotografi kuikuti hingga kelas tiga. Eh, fotografi hanya sampai kelas dua. Maaf, aku lupa. Enaknya ikut paduan suara, tak perlu itu aku berbaris di lapangan kala upacara, tapi di samping podium di bawah pohon-pohon rindang. Jadi saat teman-temanku kepanasan, aku tidak ikutan dan malah bernyanyi dengan riang.

Yang paling kusuka dari kegiatan fotorgrafi adalah syalnya, Sore! Keren sekali, warna hitam, bahannya bagus, beremblem STIFOC; SMA Tiga Fotografi Club. Terdengar keren kan, Sore? Aku tak punya kamera kala itu, meminjam saja. Disediakan oleh STIFOC, tak jarang pula oleh Putri, temanku yang punya kamera besar nan bagus. Ah, andai kau tahu betapa inginku punya kamera sendiri, Sore. Agar tak luput itu pemandangan indah di hari-hariku. Biar bisa juga kuabadikan dan kubagi, seperti yang lainnya. Karena mereka punya kamera, yang bisa dibawa bersama, kapan saja.

Ah, pintar? Tidak, aku bukan anak yang pintar. Haha! Maaf mengecewakanmu, Sore! Tapi nilaiku memang parah sekali di SMA ini, warna warni. Sudah biasa itu merah menghiasi. Waktu SD mungkin aku akan menangis karena malu, tapi tidak setelah beberapa kali. Malah ku koleksi itu merah-merah. Haha! Koleksi yang selalu membuatku kehilangan kesempatan dapat hadiah. Dulu setiap sehabis menerima hasil belajar di sekolah, aku selalu diajak ke Ramayana sama Bapak untuk beli hadiah. Tapi sudah lama itu tak terjadi. Ya karena merah-merah tadi.

Malah pernah juga nilai ulangan fisika ku terendah satu sekolah. Bayangkan, Sore, satu sekolah! Haha.. Satu kelas itu kurang lebih ada empat puluh siswa, satu angkatan ku ada sepuluh kelas, jadi totalnya kurang lebih empat ratus. Jika kita kalikan tiga; untuk kelas satu, dua dan tiga, maka jumlah semuanya ada seribu dua ratus siswa. Dan aku yang terendah nilai fisika nya diantara mereka. Keren sekali kan aku, Sore? Haha..

Siapa suruh aku belajar fisika? Orang aku tak suka, tak pernah suka. Fisika, kimia, matematika, hiy! Tak tahan tahu! Untungnya tak selamanya aku harus belajar hal-hal mengerikan tadi. DI kelas tiga aku masuk ke jurusan IPS; Ilmu Pengetahuan Sosial. Karena fisika dan kimia jarang muncul di kehidupan sosial, jarang jadi pergunjingan masyarakat, maka tidak perlu diperdalam di jurusan ini. Oh, bahagianya! Sebagai gantinya aku belajar antropologi; tentang budaya bangsa Indonesia dan dunia, juga sosiologi; tentang manusia dan tetek bengeknya. Tiap minggu antropologi adalah salah satu pelajaran yang kutunggu, bukan hanya karena pelajarannya yang menarik, tapi juga cara belajarnya yang berbeda. Tak melulu duduk di kelas, tapi seringkali kami diajak ke ruang audiovisual, dengan kursi-kursi dan layar besar, tempat kami menonton film-film dokumenter, rekaman cerita budaya.

Itu belum bagian terbaiknya, Sore! Di catur wulan kedua, kami pergi ke Bali untuk study tour namanya. Belajar dengan melihat langsung kebudayaan di sana setelah selama ini selalu kami pelajari di layar besar tadi. Bersemangat sekali aku mengikutinya. Setelah berhasil mencari sponsor untuk kepergianku ke sana, akhirnya aku termasuk juga dalam rombongan dua belas bis dalam perjalanan seminggu ke Bali. Itu kali pertama aku ke Bali. Menyenangkan sekali, Sore! Setelah sekian lama mendengar ceritanya, kini kupijakkan kakiku di sana. Bali oh Bali!

Oh iya, banyak sekali acara yang kuikuti selama bersekolah di sini, Sore. Bukan hanya Bali, tak jarang ku menginap di Puncak, di hotel-hotel, rumah teman, di mana saja, dalam rangka acara-acara yang memang sudah membudaya. Seperti kenaikan kelas, awal catur wulan, ulang tahun teman, maupun acara-acara lainnya. Kalau biasanya aku sulit mendapat izin mengikuti acara-acara di luar kegiatan sekolah seperti ini, tapi semenjak ku bersekolah di sini, tidak lagi. Kau tahu mengapa, Sore? Karena, sederhana saja, kegiatan-kegiatan tadi jarang sekali dipungut biaya! Haha.. Tak perlu dipungut biaya karena kami punya terlalu banyak donatur di sini, di sekolah ini. Jadilah tak ada itu pungutan-pungutan liar. Yang ada hanya iuran sekolah setiap bulan, uang buku dan uang jajan, itu saja.

Hah.. jadi rindu masa-masa itu, Sore! Masa di mana mudah sekali untuk tertawa. Tertawa bahagia karena menghabiskan hari-hari dengan teman-teman yang luar biasa, teman-teman yang memberitahuku apa itu teman. Berpetualang bersama, melihat dan mencoba hampir semua; mulai dari rokok impor, minuman yang tak kunjung memabukkan, lompat pagar yang selalu menegangkan, ciuman pertama yang tak seromantis bayangan, konvoi mobil tiap tujuh belasan, pertandingan domino di kelas kala guru tak ada, teman yang tepar overdosis di kelas, pasangan hot yang suka membuat risih orang sekelas, satpam sekolah yang terbiasa pura-pura tak lihat asal diselipkan lima ribu di kantongnya, guru pria dan murid wanita yang menjalin cinta, jaguar dan BMW dua pintu di depan gerbang utama, bahkan artis-artis yang tak pernah mengartis selama jam sekolah, kepala sekolah yang berlari-lari mengejar murid yang tertangkap bolos, semua ada.

Semua ada, Sore! Semua ada, di SMA tiga.

-bersambung-

Tuesday, January 19, 2010

Jakarta oh Jakarta

Jakarta oh Jakarta,
Kau kah kota tercinta?
Jakarta oh Jakarta,
Orang memanggilmu ibukota,
Entah idenya siapa.

Jakarta oh Jakarta,
Di dirimu ku temukan pria duduk bangga di samping ibu hamil yang berdiri sambil berpegang kuat menahan goncangan bis kota.
Jakarta oh Jakarta,
Tak jengahkah kau dengan sampah bertebaran di mana-mana?

Jakarta oh Jakarta,
Tahukah kau betapa menyebalkannya supir-supir bismu yang seenaknya berhenti dan melaju?
Jakarta oh Jakarta,
Kurasa pening kau dibuat penyanyi-penyanyi jalanan yang entah memang ingin berseni atau meminta-minta.

Jakarta oh Jakarta,
Kau punya terlalu banyak warga,
Jakarta oh Jakarta,
Yang entah berasal dari mana saja.

Jakarta oh Jakarta,
Tak pahamku mengapa harus bangga,
Jakarta oh Jakarta
Menjadi bagian darimu, mungkinkah ku membusungkan dada?

Jakarta oh Jakarta,
Tahukan kau harus minta tolong pada siapa?
Jakarta oh Jakarta,
Atas kekacauan yang kini kau punya.

Jakarta oh Jakarta,
Dua puluh enam tahun kita habiskan bersama,
Jakarta oh Jakarta,
Kurasa sudah saatnya kita berpisah.

Jakarta oh Jakarta,
Jaga dirimu baik-baik.
Jakarta oh Jakarta,
Bertahanlah dengan sisa asa yang kau punya.

Jakarta oh Jakarta,
Izinkan ku berterima kasih atas semua cerita,
Jakarta oh Jakarta,
Semua cerita yang kupunya, suka dan duka, cerita kita.

Wednesday, January 13, 2010

Namanya Wulan, Wulan namanya

Namanya Wulan, seperti judul sinetron yang pernah terkenal. Parasnya, seperti Wulan juga. Ya Wulan yang di sinetron Wulan. Rambut hitam lebat, panjang. Tubuh tinggi semampai, ramping. Kulit hitam tak kelam, manis. Logatnya sangat utara, maksudnya Sumatera Utara. Cukup lama tinggal di sana dia, ikut neneknya. Di sana pula bertemu kekasih hatinya. Kekasih yang tak bisa dinikahinya. Kenapa? Karena menikah berarti harus memuja Tuhan yang sama.

Wulan namanya, rajin sekolah hingga SMA. Tak lanjut kuliah, karena harus bergilir sekolah dengan adiknya. Adiknya, satu-satunya, lelaki, Bobby. Ada kakak juga, tapi tak bersama-sama lagi, sudah menikah. Bisa menikah karena kekasihnya memuja Tuhan yang sama. Setelah menikah keluar rumah dia. Jadi tinggal berempat saja di rumah, Wulan, Bobby, Mama dan Bapak.

Namanya Wulan, seringkali bilang dirinya tidak pandai karena bukan kutu buku. Ternyata yang pandai itu hanya para kutu. Walau tak pandai, jago berhitung dia. Tak mungkin salah, itu katanya tiap berhitung, hitung uang. Tak hanya pandai berhitung, tapi juga berdagang. Terbukti itu. Jengah melihat kestatisan bisnis para mantan bosnya, keluar dia, berhenti. Dari pegawai menjadi wiraswastawati. Ada tidak itu, wiraswastawati? Yah, pokoknya pasangan wiraswastawan lah ya.

Wulan namanya, wiraswastawati. Berjuang kesana kemari untuk cari modal usaha. Usaha apa? Mau buka warung katanya. Heran, ketika para perempuan beraset kecantikan berlomba menjadi SPG; Sales Promotion Girl, dia malah mau duduk di balik warung kecil, ditemani sembako, rokok dan kawanannya. Posisi yang biasa ditempati para ibu atau bapak.

Namanya Wulan, itu warungnya, kecil, di lantai dasar muka sebuah kos-kosan. Sewa katanya, dua ratus ribu per bulan. Sewa pada mama tuanya, kakak mamanya, empunya kos-kosan. Warung kecil tak bernama itu ramai sekali, ceritanya. Ramai karena banyak yang beli, beberapa hutang dulu sebelum dilunasi. Kala lebaran tiba, Wulan buat open house, layaknya Presiden. Open house sekalian promosi katanya. Para tetangga yang singgah bersilaturahmi disuguhinya alé-alé, minuman ringan kemasan gelas plastik siap saji. Gratis, agar setelah Lebaran para tetangga termotivasi untuk belanja lebih banyak lagi di warungnya. Cerdik.

Wulan namanya, tak pernah suka kestatisan. Perputaran barang dan uang di warung stabil dan sehat bak ban gerobak sayur di pagi hari, tapi bukan berarti puas dan berhenti. Gorengan, semua orang suka jajan gorengan. Hingga bertebaran lah itu tukang gorengan di mana-mana, juga di sekitar rumah Wulan. Diamatinya kehidupan para tukang gorengan; subuh pergi ke pasar membeli buah dan sayuran menumpang angkot dan becak, pagi ke warung membeli terigu, minyak dan telur, dilanjutkan menyiapkan adonan lalu berkeliling jualan. Tring! Muncul ide segar di kepala. Dihampirinya beberapa tukang gorengan, ditawarkannya perjanjian kerja sama; subuh Wulan akan mengantar tukang gorengan ke pasar dengan motornya, motor yang dikredit setelah beberapa bulan membuka warungnya. Dengan harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos angkot dan becak, tentunya. Lalu pagi harinya, para tukang gorengan bisa mengambil terigu, minyak dan telur di warungnya. Tak perlu membayar dulu, nanti saja pulangnya, setelah gorengan laku. Setuju para tukang gorengan. Jadilah Wulan sekarang rekan kerja mereka.

Namanya Wulan, tak mau punya kekasih lain, ujarnya. Mau terus sama yang ini saja, walau tak bisa menikah karena Wulan tetap memuja Tuhannya. Kecewa karena ternyata dia bisa menjadi statis, tapi tak terlalu dihiraukannya. Mengapa? Punya sesuatu dia, baru saja ketemu, katanya. Cita-cita. Setelah sekian lama tak punya cita-cita, sekarang ada lagi. Mau punya toko grosir. Wow! Cita-cita yang sama sekali tak biasa. Akan mencari tempat yang strategis, lalu mendirikan bangunan dua lantai. Lantai dasar tempatnya berdagang, grosir. Seperti warung kecilnya, tapi menjual dengan jumlah yang lebih banyak. Guna menyuplai warung-warung kecil seperti warungnya. Lantai satu akan jadi tempat tinggalnya. Mau punya rumah sendiri, ujarnya bangga. Biar rumah yang sekarang untuk mama sama bapak saja.

Wulan namanya, masih Wulan hingga sekarang. Walau kadang ditulis dengan ejaan lama, Woelan. Biar tidak sama dengan orang kebanyakan, katanya. Karena sudah terlalu banyak Wulan. Padahal, tak perlu itu ejaan lama. Wulan tak pernah sama dengan Wulan-Wulan yang lain. Tak mungkin sama. Wulan yang ini, beda.

Sunday, January 10, 2010

Rindu blogku

“Hai! Kemana saja kamu? Sudah lama tak menengokku.”
Saling menatap mereka, terdiam, melepas rindu.
Senyum terlepas, bertemu di angkasa, berpeluk mereka.
”Iya, maaf. Aku kangen sekali, kawan!”
”Aku apa namanya? Tak henti gelisah, tiap hari.”
”Hahahaha... Iya, maaf, benar-benar maaf.”
”Kemana saja?”
”Biasa, bercerita..”
”Sudah ada teman bercerita baru ya? Pantas saja lupa padaku!”
“Tidak! Tentu saja tak lupa! Kau teman berceritaku, yang pertama dan selalu setia menanti ceritaku, benar?”
”Iya, aku rindu ceritamu, Kawan.”
”Tapi memang, ada teman baru! Kita bertiga, sekarang.”
”Oh ya? Siapa?”
”Picasa, di sana dia berada. Temanku bercerita, tanpa kata.”
“Oh, aku tahu! Pasti foto-fotomu yah? Waaahhh... Akhirnya! Selamat, Kupu! Selamat!”
Tersenyum lagi mereka, bergandeng tangan, berputar, melepas bahagia.
”Iya, akhirnya! Sungguh menyenangkan sekali, rasanya!”
”Asiiiikkk...asiiikkk... Aku mau bertemu dengannya! Kenalkan aku ya...”
”Tentu! Tentu saja! Segera. Aku buat jendela di tempatmu yah.. Jadi kau bisa mengintip ke tempanya, kapan saja!”
”Ok! Ok! Kau taruh di mana jendelanya?”
”Ini, di sini. Kutulis di bawahnya, Bercerita Tanpa Kata.”
”Senangnya! Kini ku tak lagi sendiri. Ada Picasa.”
”Iya, aku juga tak lagi sendiri, ada kalian berdua.”
Tersenyum lagi mereka, berkaca-kaca.
”Aku pergi dulu ya. Biasa, melanjutkan cerita. Tapi tenang, kali ini aku tak lagi pergi lama-lama. Pastinya tak sabar ku berbagi cerita dengan kalian berdua. Nantikan aku ya!”
”Sip! Tentu saja, as always. Selamat bercerita, Kupu!”