Thursday, April 29, 2010

Cerita dari Singapura - tujuh

Percaya gak percaya, tetapi ini nyata, udah di Singapura, padahal barusan aja di Jakarta (gubahan lagu Bang Pidi Baiq – Percaya gak percaya).

Ya gimana mau percaya, coba? Wong kurang lebih sama, ya ada bangunan gitu, di lapangan yang gak seluas Soekarno-Hatta seh, tapi yah, gitu-gitu aja lah. Mungkin kalo penumpang lain gak berbisik, murmurer, euphoria gw bisa ilang gitu aja. Emang sih, sempet liat air-air gitu yang banyak kapal-kapal pengangkut lagi pada parkir, malah berasa di Tanjung Priok, coba! =D

Gul, Gul, bukan mimpi ini, Singapuraaaa… Breath the air! Segini aja? Gak boleh gitu, judge from the airport! Iya yah, semangat! Singapura, tunjukkan pesonamuuuu…

Alih-alih berebutan turun, kami duduk santai-santai. Biar bisa foto-foto juga seh, kalo udah sepi kan aman tuh, gak dikatain norak! Haha..

Turun dari pesawat kami harus melewati seorang petugas pemeriksa dokumen. Setelah pindah antrian kiri, kanan, kiri, kanan; usaha cari yang lebih cepet majunya, kan tergantung sama kegesitan petugas, toh? Akhirnya pilihan jatuh ke antrian paling kiri. Di sini juga ada garis kuning batas antrian dengan orang yang sedang diperiksa, loh! Apa standar bandara internasional, yah? Giliranku, petugasnya ibu-ibu India, keturunan maksudku. Paspor, muka, paspor, muka, paspor, muka, itu yang bolak-balik diliatin si ibu India. Sampe ngeri sendiri, kalo sampe masuk daftar cekal di sini kan gak lucu, tragis. Ya Allah, mudahkanlah perjalananku. Komat-kamit terus dalam hati. Si ibu malah senyum-senyum sendiri, kadang seperti mau ngomong, trus gak jadi, mau ngomong, eh gak jadi lagi. Apa seeehh??? Bikin senewen aja.

Fyyuuuhh... akhirnya lewat juga setelah cetak cetok stempel di sana sini. ”Loe mirip sodaranya kali, Gul!” praduga Dian. ”Iye kali ye!” FYI, walau gak penting, sudah sering aku dibilang mirip dengan Karisma Kapoor, artis India. Tahu gak Karisma Kapoor? Wah, payah, googling sana, banyak koleksi fotonya kok. ;p

Sabine bilang, temanku yang sudah lebih dulu ke Singapura, di bandara ada peta-peta yang bisa diambil, gratis. Jadilah karena gratis kami menggila ngambil berbagai peta dan brosur. Setelah beberapa saat, aku tersadar, ngapain gw ambil yang tulisannya aneh-aneh begini? Ada tulisan Cina, India pula! Hahaha.. Ooon...

”Pipis dulu ya guys! Sekalian nyobain aer Singapura! Hihi..” bukan aku itu, Anastasia Khairunnisa. Hahaha.. Jadilah kami foto-foto, eits! Jangan bilang norak! Banyak orang juga foto-foto berlatar dekorasi natal dan tahun baru yang bikin bandara terlihat cakep, sambil bergantian pipis. ”Wi, ada tap water tuh! Pengen nyobain deh, gw!” kataku. Dewi bilang, ”Iya, coba sana.” Karena masih deg-degan, ditunda dulu deh nyobanya, nanti-nanti aja. ;p

Ini bandara ternyata lebih menarik dari yang di Jakarta, luas tapi gak kotak gitu aja, ada sekat-sekat, lebih tidak membosankan, buatku. ”Eh gals, jangan lama-lama kita, nanti kopernya gak keluar, di bawa lagi, gimana?” ”Eh iya. Ngambilnya di mana, Wi?” ”Di bawah sana, yuk kita lanjut.” ”Yuuukkkk...” Bener, ada di bawah, ada roda yang jalan sendiri gitu, bawa koper-koper dan tas di bawahnya. ”Gals, itu tas gw tuh! Liat gak?” Kulari mengejar tasku yang entah kenapa takut tak bisa kulihat lagi. ”Tas gw! Tas gw!” yup, sambil teriak-teriak gitu. Hahahahahaha... Gak sia-sia, berhasil kudapat itu tas ransel keren.

Eh, anak-anak ikutan lari-larian juga. Ngejar-ngejar koper dan tas mereka yang sudah terlanjur berputar ke sisi lain, naik tangga, turun lagi, lari-lari. Hahahahaha... Pasti cukup menarik perhatian petugas di belakang cctv deh! =D ”Itu tuh Yen! Koper loe!” ”Dian, Dian, tolong, tarikin tas gw!” ”Wi, koper loe muter ke sana, Wi! Cepetaaaannn...”
Di luar sana, ada sepasang suami istri yang sedang menutup wajah mereka, malu. Setelah sebelumnya sibuk memandangi para penumpang yang baru datang, ”Hubby, mana ya Mbak Dewi sama temen-temennya?” ”Mungkin belum turun, sebentar lagi.” ”Itu dia, mereka.” Ujar Dinda, sang istri, sambil mengacungkan telunjuk ke arah depan, ke pasukan perempuan yang berlari ke sana sini, sambil menunduk menyesali keputusannya dan langsung memutuskan untuk pura-pura tidak kenal saja.

”Eh, itu Dinda, gals! Dindaaaaaaaaaaaaaa......................!!!!!!!!!!!!!!!”

-bersambung-

Tuesday, April 27, 2010

Cerita dari Singapura - enam

Itu lorong-lorong menuju boarding room entah kenapa sepi sekali. Untungnya masih ada beberapa orang yang menuntun kami ke sana (as u know, gak ada yang tahu tempatnya). I’m wondering, toko-toko di sisi kiri dan kanan ini adakah pembelinya? And also, perlu yah lorongnya lebar sampe segininya? Hmm.. kalo patokannya jumlah penumpang musim haji jadi masuk akal juga seh. Setelah menyusuri lorong panjang, belok kiri belok kanan, turun travelator, akhirnya ketemu juga sama bapak-bapak petugas. Dari jauh sudah terlihat botol-botol; ya air minum, parfum, kosmetik, sampe obat, yang tidak lulus sensor. Hehe! Sayang juga yah kalo dipikir-pikir, trus dikemanain itu barang-barang? Kami memereteli barang kami biar mereka menggelinding untuk di sinari X, kami pun begitu, harus (lagi-lagi) lewat di bawah scanner biar semua orang merasa aman, biar yakin kalo kami bukan teroris atau pembajak pesawat. Ih, amit-amit, mudah-mudahan gak keangkut deh orang-orang kayak gitu.

Wuih, rame pisan di sana, di boarding room, kelihatannya sih banyak rombongan keluarga. Enak juga yah kalo bisa liburan sekeluarga begini, apalagi ke luar negeri. Nanti kalau sudah punya keluarga sendiri aku mau juga seperti ini. ^^ Di ruangan itu yang ada hanya kursi-kursi plastik berwarna oranye, maka di sana kami duduk. “Yan, mana kue loe? Laper neh gw,” dan Dian pun mengeluarkan plastik hitamnya yang kini sudah keriting sekali. “Neh bow! Loe mau apa?” “Pastel deh, abis itu lontong.” “Alah! Belom juga dimakan, udah lontong aja loe!” “Hahaha.. Mending gw tepin, daripada keabisan!” “Yan, gw juga mau donk!” tuh bener juga, yang lain ikut-ikutan. Pastel, lontong, risol, pesta jajanan rakyat kami. Hhhmm… nikmaaatttt… Zzzzzzzuuuuuuuttttt!!!!! Tiba-tiba semua terdiam, “Gals, jangan bilang gak ada minum!” Hiks, imigrasi sialan, gak boleh bawa cairan, matilah kami keseretan. =(

Selagi sibuk menelan ludah sendiri (bukan menjilat yah!), terdengar pengumuman dari pengeras suara. Penumpang kursi nomor sekian sampa sekian dipersilahkan masuk duluan, Anast duluan. Sudah beres, selanjutnya nomor sekian sampai sekian, Dewi giliran. Terakhir, nomor sekian sampai sekian, aku, Dian dan Yeyen sekarang. Cukup tunjukin boarding pass sama mbak-mbak Air Asia, maka kita dipersilahkan masuk ke lorong yang merupakan sambungan antara pesawat dan ruang bandara. Terus di pintu pesawat ada lagi mas-mbak yang menanyakan nomor kursi dan menunjukkan dengan tangannya ke kejauhan. Huhuuuuuuu.. pesawaaaattt!!! ^^ Entah di pesawat lain, tapi di pesawat ini lorong antar kursi kiri dan kanan cukup sempit, ukuran satu setengah body langsingnya Indonesia. Jadi kalau lagi berdiri trus ada yang lewat dari arah berlawanan, ya mesti menyamping posisinya, kalo nggak, bisa senggol-senggolan deh! Kalo nyenggol cowok ganteng gapapa, kalo gak ganteng trus centil? Hiy..

Wuih! Anast dapet di badan pesawat bagian depan, sisi kanan dekat jendela, Dewi bagian tengah kiri dekat jendela juga, kami bertiga, buntut sebelah kiri. Bisa lihat sayap pesawat dari jendela. Yeyen dapet window, enaknya, aku di tengah, Dian aisle. Setidaknya di tengah, di aisle itu kurang enak, suka kesenggol-senggol orang lewat. Nah, selanjutnya aku suka bagian ini, om pilot berbicara; memperkenalkan diri, memberitahu cuaca, aku suka orang yang suka membicarakan cuaca seperti Pidi Baiq salah satu penulis favoritku, membacakan peraturan di negara tujuan dan ini dia, menjelaskan cara menyelamatkan diri yang sambil dipraktekkan oleh mas dan mbak pramugari,ra. Keren! ^^

Bismillah, om pilot yang tampan, biarkan ku berkhayal!, bilang kalau kami siap terbang. Maka keluarlah itu asap-asap dari atas kiri dan kanan, keren. Pesawat lalu mulai mengendut-ngendut, mengingatkanku pada sesuatu yang jorok ;p lalu asap tambah tebal, udara tambah dingin, lampu seat belt menyala merah tanda harus dikenakan segera, mulut kami komat-kamit bertiga, Bismillahi majreha wamursaha inna robbi la ghofururrohim, amin. Semoga Allah selalu menjaga kita di perjalanan ini, amin. Jantungku bertambah deg-degan, biar kau bilang norak, tapi aku suka naik pesawat. Anast gimana yah? Dewi mungkin sudah biasa. Hihi.. Yeyen terlihat agak tegang, mungkin karena belum hafal doa tadi, Dian lebih pucat, mungkin karena alasan yang sama denganku, belum biasa! ;p Tenang Yan, jangan sampai kita jadi terbiasa, nanti gak seru lagi! Haha..

Pesawat mulai berubah arah, agak ke kiri, jalan pelan-pelaaaaaann sekali, mungkin moto om pilot alon-alon asal kelakon. Aku dan Dian mengganggu Yeyen dengan mencuri pandang dari jendelanya, hanya lapangan luas saja, bandara. Lebih menarik di dalam sini, kebulan asap dingin serasa akan ke luar angkasa. Huhu.. Kuletakkan tas ransel keciku di bawah, tak lupa kukaitkan ke kaki, nanti gelinding, lagi! ;p Komik yang kupinjam dari Anast ada di pangkuan. Tadinya kamera sudah siap di tangan, tapi Yeyen bilang tak boleh foto-foto di pesawat. Kenapa coba? ”Kan kamera gak pake sinyal, Yen.” ”Tapi setahu gw gak boleh, Gul.” Gak masuk akal. Kusimpan kembali si Ranyu di ransel hitam punya Yasmin, tetangga kostku.

What is the best part of flying? Yup, I’m asking you all. For me, it was when the plane on a high speed on the ground runs as it had enough with it and desperately misses the sky. And it flies, high! Hmm… Comme j’aime bien ce moment là!

Kupejamkan mata, kurasakan nyeri yang meraba, tersenyum membahagiakan ini semua. Alhamdulillah. Flying.

Lampu seat belt sudah hijau sekarang, tanda sudah bisa dibuka. Lebih nyaman tanpanya, memang. Yeyen tenang dengan pemandangan di kirinya. Dian menikmati manusia yang mondar mandir di kanannya. Kubuka komik di pangkuan, membaca jadi tak menarik lagi sekarang. Kiri kanan, kulihat saja, banyak orang duduk bicara aaa.. Fyuuhhh.. Aku mau foto-foto. Beneran gak boleh gak seh? Seingatku seh waktu itu yang pulang dari Jogja ada mas-mas yang asik foto-foto awan, bikin iri saja. Ah, daripada menyesal, mending nekat saja. Toh kalo bener terlarang, pasti ditegur, kan? Hehehe..



Voila! Benar cantik kan? Dan foto-foto ini tak terlarang, saudara-saudara. Tak mengganggu sinyal pesawat kok! ^^V Mudah-mudahan pulang nanti aku bisa duduk di sisi jendela, biar bisa foto-foto sama Ranyu lebih banyak, semoga.

-bersambung-

Thursday, April 22, 2010

Cerita dari Singapura - lima

Gals! Itu dia, di ujung sana loketnya!” LOKET BEBAS FISKAL. ”Manaaaa??” serentak itu anak-anak sambil manyunin mata. ”Itu tuuuuuhhh.. di ujung!” itu aku sambil manjangin telunjuk. ”Masa siiihhh??” Ih, sebel deh. ”Mana sih kacamata kalian? Dipake dooonnnkkk...” (Ini anak empat semua berkacamata) ”Ini gw udah pake,” hahahaha.. Dewi memang gak pernah lepas kacamata, kecuali tidur sama mandi aja. Kurang tebel tuh kayaknya. =( ”Ya udin, pada ikutin gw aja!” Semangat betul itu kami bersa’i ke arah ujung kiri, untung udah gak sama trolley. ”Oh, iyaaa...” Sudah segini deket, baru pada oh iya. Dasar nengki-nengki semua. >o<


”Ini Pak!” kusodorkan paspor, boarding pass, NPWP di kolong kaca loket. ”Gak perlu semuanya, paspor sama NPWP aja.” Oooohhh... meneketehe! Hehe.. (gak perlu lah yah bilang kami orang baru, hihi!) Beres, secepat kilat, lari kami semua ke arah tadi, mencari pintu yang entah akan membawa kami ke mana lagi. Seperti biasa, hukum kerumunan semut membawa kami ke pintu pencerahan, itu dia ada gerbang-gerbang. Bukan gerbang seh, apa yah? Ya gerbang lah, kayak mau ke luar dari supermarket gitu loh, seukuran sama lorong kasirnya. Nah si Mbak kasir di sini digantiin sama mas-mas berseragam, petugas imigrasi. Baru dua bulan lalu berhadapan dengan boroknya petugas imigrasi, eh ini harus ketemu muka lagi. Biarin! Biar aja dibilang pukul rata, buatku semua petugas imigrasi sama, mata duitan! (Shuuuttt… jangan keterusan, nanti jadi Ibu Prita dua lagi!) Hoho..


Mengantri lah kami, di dua gerbong, formasi 3-2. Yeyen duluan, di depan. Doi memang sering kujadikan umpan, karena stok PDnya yang berlebih. Pas si Yenq maju, aku harus tetap berdiri di belakang garis kuning yang dicoret di lantai, pesannya. Kenapa yah? Hmm... mungkin biar tidak saling contek kali. Eh, kok doi mundur lagi, ”Kenapa Yen?” Ini, kita harus isi dulu departure cardnya. ”Card apa?” kami pun mengerumuninya, terus mengikutinya ke arah pintu masuk tadi. ”Oooohhh... iya-iya! Gw suka lihat ini di paspor Pak Broux!” Gak telat tuh! Hehehe.. Itu bosku, yang bolak-balik naik pesawat kaya naik angkot aja, kenapa gak keingetan yah? ;p


Itu kartu ada dua lembar, isiannya standar, data diri dan jadwal kepergian serta kedatangan. Gak boleh hilang, bisa jadi masalah katanya. Kartu gini aja bisa bawa masalah, heran. Balik lagi deh! Antri lagi. Formasi sama, posisi berbeda; Dian-aku-Yeyen. Aduh, mudah-mudahan gak ada apa-apa lagi deh. Udah telat gini. Ya Allah, jangan sampai kami ditinggal, jangan. Eh, kenapa itu mas imigrasi manggil-manggil temennya? ”Pak! Pak! Tolong ini Pak!” katanya sambil melambai-lambai dan menunjuk Dyence, eh Dian, alah sama aja. Eh, mau dibawa ke mana itu anak? ”Silahkan, Mbak!” Giliranku sekarang, kukasih aja semua yang ada, ya paspor, departure card, boarding pass. Deg! Deg! Deg! Kenapa sih itu Dyence? ”Mau ke Singapur ya, Mbak?” ”Hehe.. iya,” bukan kecentilan itu, tapi jadi grogi takut diangkut juga. ”Ini Mbak, silahkan.” Heh! Udah? Gitu aja? ”Makasih.”


”Si Dian masuk daftar cekal, guys!” Itu si Yeyen, doi penasaran trus tanya ke mas imigrasi yang tadi. “Haaahhh??” “Hooh, Madame Dina,” katanya lagi. “Saha eta teh Madame Dina?” “Ya itu, yang masuk daftar cekal.” “Jauh amaaaaaaat…” “Iya, gw juga bilang situ ke Masnya. Tuh, dia di bawa ke sana!” Jadi ada kotak kaca, kantor imigrasi gitu, nah di sana lah Dian dan beberapa bapak-bapak berada. Langsung lah kami berandai-andai, sempet-sempetnya. “Waduh! Kalo gw pasti udah marah-marah tuh! Enak aja gw masuk daftar cekal!” kataku. “Kalo Anast pasti udah nangis ya! Hahahaha…” “Iyalaaahhhh…” Iya, lagi. “Untung Dian yah, pasti dia bisa tuh!” (Nanganinnya, maksudku) Dasar orang Indonesia, tetep aja ada untung! Hehehehe…


Kalau ada kamera infotainment, pasti Dian keren banget tuh keliatannya! Keluar dari kotak kaca sambil nyengir-nyengir centil sama si bapak-bapak. ”Gul, difoto, Gul!" Si Anast spontan memintaku bekerja. Cepat-cepat ku ambil ranyu dari tas, ”Dyence, pose bow! Gw foto neh!” Langsung aja gitu dia bikin pose begini: ^^V Hahahaha... ”Satuuu.. duaaa... tiii...” ”Eh, eh, gak boleh foto-foto di sini, Mbak!” Yeeehhh.. payah amat ini Bapak. ”Kenapa, Pak?” tanyaku kecewa. ”Memang gak boleh.” ”Yaaaaaahhhhhh..” Silahkan diterjemahkan sendiri deh peraturan yang ”keren” barusan, bener peraturan apa peraturan, Paaakkk???


Untung sudah terbiasa dengan segala yang berbau Indonesiana, ya itu salah satunya, peraturan ya peraturan, tanpa ada alasan. Huuuu…. Eh, btw, itu si Madame Dina gimana kabarnya ya???


-bersambung-

Wednesday, April 21, 2010

Cerita dari Singapura - empat

Hehe.. Kenapa pada terkejut yah Mbah, Mama, Tante, Uwak, sama sepupu-sepupu waktu aku pamit? Gak ada potongan ke luar negeri kali yeee... ;p Gaya pamit waktu itu sih sok cool, ”Doain ya, aku mau ke Singapura.” ”Hah? Berapa lama? Sama siapa? Dibayarin?” Seriusan, sampe nanya siapa yang bayarin. Hahahaha... Nasib, nasib, punya potongan kere! Pada pesen-pesen deh, ada yang hati-hati (bisa dibeli di mana yah?), gadget (tapi gak nitipin uangnya huweee...), parfum merk Carolina Herera (kalo yang ini si mama, sms pertama yang kuterima di sana padahal sebelumnya bilang gak mau pesen apa-apa, yang penting kamu selamat. Hahahaha..), ada juga gantungan kunci (Om Jo yang pengertian waktu ku bilang tak ada uang). Yah, pesen boleh pesen, sudah dicatat semua, dalam hati.

Saking hotnya, hari H, day D, jour J, aku tiba di bandara tiga jam sebelumnya. Mau ngepel, Neng? Kikikikik... Jalan kosong banget, seolah mempersilahkanku pergi dari negeri ini. Jadi terharu. Yeyen sampai kedua, datang ketika aku sedang sarapan, sarapan tahap kedua. Entah kenapa ini cacing di perut ikutan tegang juga, dasar norak. Lagi tegang-tegangnya (tapi tetep sok cool donk!), si Yenq malah curhat, sampe nangis-nangis, lagi. Curhat apa tuh? Alah! Biasa, wanita. Hehehehe... ;p Lumayan lah, jadi gak seberapa tegang lagi, kecampur-campur sama pusing, sekarang. Merci ya Yenq... =(

Anast, Dewi, Dian nyusul, sampe juga. ”Gul! Gul! Liat, gw bawa apa neh!” itu si Dian pamerin kresek item di tangannya. Deg! ”Apaan tuh?” spontan kubuka itu plastik yang katanya terbuat dari sampah apa saja, hingga BPOM melarang kita menggunakannya untuk makanan. ”Widiiihhh... Sempet-sempetnya loe!” Ada lontong, pastel sama gemblong. ”Hahahaha.. dari pacar donk!” Maklum pemirsa, si Dian ini lagi euphoria, pacar baru! Huhu.. ”Nanti gw bagi ya bow! Kalo udah check in, pasti gw laper lagi,” kataku. ”Lah, bukannya loe baru makan, Gul?” Itu si Yeyen rese. ”Ih, itu kan tadi, gw bilang kan gw mintanya nanti. Ya Dyence ya?” Hahahahahaha...

Teringat dulu, berkali-kali waktu aku memandangi para kenalanku keluar masuk pintu kaca ini, itu loh, pintu kaca yang memisahkan penumpang dan pengantar. Akhirnya Ya Allah, aku masuk juga. Pengennya sih dadah-dadah, gitu, tapi gak ada yang nganter. Hiks! Masa dadah sama orang-orang gak dikenal, tar dipanggil orang gila, lagi! Yah, pamit sama Bapak penjaga saja, lah! Kuberi senyum manis, sambil bilang, ”Mari, Pak!” Hahahaha.. Seolah si Bapak peduli kalo dipamitin. Belum lama lewat pintu kaca, langsung berubah ambiancenya, nik nik panik, entah kenapa juga mesti panik. Kami angkut itu tas-tas dan koper ke atas gelundungan; apa sih namanya? Railing way? Rolling board? Whatever lah! Buru-buru, padahal gak ada yang nyuruh buru-buru juga. Hehe! Mungkin ini juga yang namanya euphoria! ;p

Wow! Ternyata area di dalam pintu kaca luas, pemirsa! Melebar ke kiri dan kanan. Ada loket-loket check in berderet, laris manis dikerumuni orang-orang yang pada berbaris. And guess what? Loket Air Asia yang paling panjang, sudah melingker bak uler. Let's go, guys! Lariiii…. Duga punya duga, sepertinya semua orang mau ke Singapura. Tapi masa segitu banyak muat di satu pesawat? Air Asia kemana lagi sih jadwal jam segitu? Eh, tapi mungkin saja dua pesawat ke Singapura. Tapi masa iya?

Selama mengantri aku bercerita, tentang proses lamaran yang baru saja kulewati dua hari sebelumnya. Maaf mengecewakan kalian semua ya para pria. Yup, I’m taken, dear! ;) Kami sibuk tertawa dan berbagi suka hingga tiba-tiba saja dikagetkan dengan suara ibu-ibu yang marah-marah karena antriannya diselak oleh ibu-ibu lain (sesama ibu-ibu tidak boleh saling menyelak, ternyata!) yang dari penampilannya bisa dipastikan kalau doi mau ke Singapura! Hahahaha... Exist beraaaaatttt! Mana muka juteknya seperti ditempel karton besar, ”Saya orang kaya, loh...” Sesaat nyawaku terbang, membisiki sang ibu korban, ”Jangan mau diselak, Bu! Gibas aja!” Eh, si Ibu beneran denger. ”Eh, enak aja! Saya duluan.” Terus si ibu marah-marah, tambah seru aja. Kepala-kepala yang tadinya sibuk sendiri pun jadi memandangi. Si Ibu penyelak bukan malu dan sadar diri, malah seolah tak berdosa, santai aja tak menanggapi, malah sibuk memanggil-manggil porternya sambil main oper-operan koper. “Mana, kopernya? Koper! Koper! Sini oper ke depan!” Gila! Jadi bikin panas! Tak ampuh dengan sindiran dan sumpah serapah, si ibu pembela kebenaran pun berteriak pada petugas, “Pak, jangan diem aja donk! Ibu ini nyelak neh!” Dasar stupid Indonesian people, mesti diteriakin dulu baru kerja, oon! Si petugas nyamperin itu ibu exist, entah bilang apa, jawabannya begini, “Pesawat saya udah mau boarding, Pak! Nanti saya telat.” Gak masuk akal. “Yang lain juga buru-buru! Memang dia aja!” Karen banget ini si ibu, maju terus pantano mundur! ^o^v “Tahuuuu… antri donk!” Yang lain ikutan, saya juga, anak-anak juga. Hahahaha… Rasain loe, Bu! Malu gak sama bebek? =D

Check in artinya tunjukin tiket dan bayar, hmmm… tiga puluh ribu. Terus dapet boarding pass yang sudah ada nomor kursinya. Semua barang ditimbang, tak ada yang overweight. Walau si tante Dewi nyaris saja, karena paket oleh-oleh titipan keluarga dari Jakarta untuk Dinda dan Keluarga. Mas di loket pesen, “Harus sudah di boarding room setengah jam sebelumnya ya, Mbak.” Waduh! Bentar lagi. Malah belum ke tempat fiskal, belum apa lagi yah? Entah, gak ngerti juga. Yang pasti harus bayar fiskal, itu aku tahu. Maksudnya ke tempat itu, untuk nunjukin NPWP biar bisa bebas fiskal. Tapi di mana? Dewi dan Yeyen yang sudah pernah ke luar negeri bisa-bisanya gak tahu tempatnya. Fyuh... Kami pun maju, mundur, maju lagi, mundur lagi. Pada malu bertanya, ya gini jadinya. Maju, mundur, muter-muter. Ôlala...

-bersambung-

Monday, April 19, 2010

Cerita dari Singapura - tiga

Haduh! Biasanya tuker uang gak pernah musingin gini! Tinggal telpon, hitung-hitung, deal deh! Ambil uang (rupiah maksudnya), dan duduk manis tunggu si mas money changer datang (Salah satu job desk di kantor adalah menukar berbagai mata uang untuk keperluan operasional). Kalau yang ini, rencana nuker aja masih empat bulan lagi, tapi sudah tung itung itung bikin keriting aja! Belum terbayang berapa uang yang kami butuhkan untuk bertahan hidup enam hari di sana. Kalau lihat kursnya yang lumayan seh, gak bisa dibilang murah juga kehidupan di sana ya?

Enam ribu tujuh ratus sembilan puluh lima, wwwuuuaaaa…. Mahaaaalllll.. ToT Hiks, nyesel gak tukar uang dari kemarin-kemarin. Maunya juga dari kemarin-kemarin, apa mau dikata, uangnya belum ada. Hahahaha.. Aku menukarkan dua kali biaya operasional bulananku dengan uang lebar ini, seperti uang monopoli kelihatannya. Karena mepet akhir tahun, tak ada lagi recehan di tempat langgananku, jadilah kami berempat; aku, Dian, Anast dan Yeyen menggabungkan uang bersama. Berjuta-juta uang cuma jadi satu lembar, tragis. Tak pernah seumur hidupku menjaga selembar uang sampai membuat urat-urat di kening menonjol dan telapak berkeringat dingin, hiks.

Semua keperluan sudah di tangan, mengenai site touristique incaran, nanti saja belakangan. Toh yang lain sudah concern sekali, aku ikut saja. Yang pasti harus ke Merlion, foto di depannya, syarat wajib turis di Singapura, iya kan? Eh tunggu, ini kan luar negeri, kebarat-baratan katanya. Jangan-jangan aku bisa mewujudkan impian memakai bikini? Ting! Ting! Harus tanya Yeyen, mungkinkah ke pantai, pantai apa saja, di sana. Huhuuuuu.... Berarti juga, bisa bawa semua baju laknat yang ada! Yipiiieee.. Pil, pil, Upil, pinjam baju tidurmu yaaaa... Haha! (Baju tidurnya Upiel, sepupuku, sekelas dengan baju laknat jalanku) ;p

Seminggu sebelum tanggal kepergian, hidup rasanya tak tenang, seperti banyak hutang, gitu! Walau cuti sudah diapproved, ransel pemberian kekasih hati sudah di tangan, sepatu sendal sudah siap, baju-baju sudah terkumpul walau tanpa bikini karena tak ada budget lagi untuk beli, sunglasses sudah beli hasil hunting di terminal Depok, tiket dan lembar asuransi sudah di print, dokumen-dokumen terkumpul rapi, apa lagi ya? Oh iya, aku sudah punya kamera donk! Dari mana? Hadiah. Dari siapa? Mau tahuuuu aja! Nanti kamu ikut-ikutan minta, lagi! ;p Yang lain sudah punya kamera sendiri juga, aku yang terakhir punya. Alhamdulillah, jadi kamera paling canggih ya, Ranyu? Hahahaha.. Ranyu itu nama kameraku.

Apa yah? Apa yah? Info-info sudah didapat dari om-om semua, terlalu banyak malah. Oh, bagaimana kalau nanti ada apa-apa? Apa-apa bagaimana? Ya apa-apa; kalau pesawatku jatuh, ini kan tiket murah. Ya sudah, ku simpan lembar asuransi di lemari, kutitipkan sama Yasmin, tetanggaku, tolong kasih ke Aran, adikku kalau terjadi apa-apa. Siapa tahu uangnya lumayan, buat beli tanah atau rumah di pinggiran Jakarta. Sertifikat asuransi lainnya pun kukumpulkan, tak lupa daftar hutang yang bisa dilunasi kalau tabunganku dicairkan. Apalagi sih persiapan orang yang mau ”pergi’? Oh, minta maaf dooonnnggg... Mama, Bapak, Aran, Mbah, Uwak, Teteh,Ade, Tante, Mamang, Ade-ade, Aa, Om, tetangga, teman-teman, para bos, Ibu Bapak guru, Presidenku, Sarapku, maafkan aku yaaa... Diikhlaskan saja, karena aku juga ikhlas kok, sepenuh hati. Sampai tidak sampai lagi di sini.

Eh, eh, kapan pertama kali kalian naik pesawat? Aku waktu itu, beberapa bulan sebelum ke Singapura, dari Jogja ke Jakarta. Kalau Yeyen dan Dewi sudah biasa. Dian dan Anast kali pertama, kalau tidak salah. Tapi mereka berdua yang well prepared sekali. Ya itu, mereka sempat-sempatnya hunting gembok untuk ransel mereka, biar gak dimasukin narkoba, katanya. ”Itu kan motif yang lagi in, Gul! Gimana kalau tas kita dimasukin narkoba! Bisa-bisa kita bukannya jalan-jalan malah dipenjara di sana! Iya kan?” Damn, sialan! ”Kenapa gak bilang dari kemarin sih, guys? Mana ransel gw gak ada resletingnya, lagi! Cuma tali-tali begini.” Senewen beneran. ”Hahahaha.. Ya elo seh, gak konsultasi sama kita!” Mana kepikiran, coba! Wong mereka masuk kategori pemula. Ini lagi, Yeyen sama Dewi, malah pake koper, kaya tante-tante aja! Kita ini backpacker, gals! BACKPACKER! Hiksss... Hiks...


Backpackers or TKIers?

Katanya, Singapura itu menerapkan hukuman mati bagi mereka yang ketahuan membawa narkoba ke negaranya. ToT

-bersambung-

Thursday, April 15, 2010

Cerita dari Singapura - dua

Tiket, ket ket. Lagi in Air Asia, murce-murce gosipnya. Betul, jika dibandingkan dengan maskapai lain. Rapat menghasilkan tanggal 29 Desember 2009 sampai 3 Januari 2010, apalagi peak season gini, terasa banget selisihnya. Bermoto The World’s Best Low-Cost Airline, Air Asia membuktikannya. Tapi eh tapi, kompensasinya, mereka tidak menjual melalui agen perjalanan. Harus beli langsung, online. Jadilah kami ririungan di depan laptop mengikuti petunjuk di website mereka. Tiba di tahap terakhir, pembayaran. Masukan nomor credit card Anda. Waduh! Siapa yang punya credit card? Sorry ya, kami berlima penganut aliran anti credit card. Jangan salahkan kenorakan kami, salahkan para pengguna credit card yang tidak bijaksana hingga merubah persepsi kami akan fungsi utama kartu hutang itu. Siapa yang mau berkutat dengan debt collector, coba? Hiiiyyy….

Untung saja Dian, yang memiliki penasehat keuangan, kakaknya yang bekerja di sebuah bank sudah punya satu kartu kredit, walau belum aktif. Karena kasihan sama mbak marketingnya, kata Dian. Jadilah hari itu, hari pertama dia menggunakan kartu mengerikannya. ”Sudah aktif,” katanya setelah menghubungi mbak customer service. Saat kami pikir masalah pembayaran selesai, tenot! Ada masalah baru. Limit kartu tidak mencukupi untuk lima tiket. Howalaaa... ”Pakai kartu siapa lagi, donk?” Itu pertanyaan kami semua. ”Harus kartu orang yang percaya sama kita, jangan sampe orang itu terpaksa,” kata siapa itu ya? Anast, yang ”beruntungnya” memegang kartu abangnya, mengusulkan, ”Pake kartu Abang gw aja, tapi jangan lupa langsung diganti, ntar gw yang kena, lagi!” Beratnya tanggung jawab seorang adik, ya? Hahaha.. Maka, berbekal dua kartu tadi, terbelilah lima tiket Jakarta-Singapura-Jakarta. Alhamdulillah..

Apa lagi ya? Tanya kami semua. Oh, hotel, rute wisata dan NPWP! Iyalah, siapa yang rela bayar dua juta untuk fiskal, coba? Mending urus NPWP, kan? Gratis. Dewi yang belum punya NPWP dengan gesitnya mengurus sendiri. Yang lain? Sudah punya sebelumnya dan untuk kali pertama merasa bahwa kartu ini berguna. Hahaha.. Kalau hotel? ”Gals, kata mbak Trinity –penulis The Naked Traveler- nginepnya di hostel aja, hos, hos, pake S. Murah,” itu aku, penggemar tulisan Mbak Trinity. Maka, Dian, Yeyen dan Dewi sibuk mencari informasi mengenai hotel dan hostel. Aku dan Anast? Ikut saja. Kami penurut kok. ;p

Meski Dewi sudah pernah bertandang ke Singapura, tapi yang dia tahu hanya wisata mall saja. Fyyuuuhh... Yang aku tahu? Merlion saja. Haha! Waktu SD sih guruku sering bilang kalau buang sampah sembarangan di sana bisa di penjara. Alah! Gak takut! Kalo bisa diterapkan juga di Jakarta. Biar tahu rasa orang-orang di sini, yang gayanya udah kayak bos, nyuruh orang lain nyapuin atau mungutin sampah mereka. Setelah perundingan dan perdebatan yang panjang, maka diputuskan Dewi dan Yeyen lah yang akan mencari tahu tempat-tempat yang akan kami kunjungi, untuk kemudian kami diskusikan dan putuskan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat. Wahai bapak dan ibu guru PPKn, pasti kalian bangga melihat kami ini.

Ternyata alam semesta mendukung perjalanan kami ini! Dinda dan keluarga di Singapura mengusulkan kami untuk tinggal di rumah mereka. Alhamdulillah wa Syukurillah... Tak perlu buang-buang uang. Hehehe.. Dinda, yang pengantin baru merelakan kamarnya kami tempati selama enam hari. Sedangkan dia dan Sufi, suaminya, tidur di kamar adik mereka. Hmm.. menarik sekali, tinggal di rumah penduduk asli.
Kita review: Paspor-check! Tiket-check! NPWP-check! Hotel-check! Selanjutnya, tukar uang dan rute perjalanan! Semangat! ^^V
-bersambung-

Cerita dari Singapura - satu

Tak ada kata terlambat. Masih berlaku kan ungkapan itu? Please, jangan bilang sudah dihapus dari muka bumi. Need that, desperately. Hahaha.. Sedikit menyesal memang, kenapa tidak dimulai dari kemarin-kemarin, dari tiga bulan lalu, atau dua bulan lalu, bahkan mungkin sekali sejak hari itu, hari kepulanganku ke sini, negeri ini, Indonesia. Ah, terdengar keren sekali, bukan? Seolah sudah kulewatkan masa kecilku di Eropa, atau habis kuliah setelah mendapat beasiswa di sebuah negara maju; yang sistem pendidikannya terbukti sangat bagus hingga membuat banyak orang berlomba untuk menuntut ilmu di sana seolah saat kembali ke negeri ini, mereka totally full charged dan siap membawa perubahan besar bagi Indonesia bukannya hanya berbangga-bangga bahwa mereka lulusan luar negeri, seolah-olah. Bukan, sayangnya bukan salah satu dari keduanya. Aku hanya pergi beberapa hari ke luar negeri, Singapura.

Tolong, jangan bilang itu sudah biasa, tempat mamamu berbelanja. Eits! Jangan juga katakan, “Kirain ke mana!” seolah-olah Singapura ada di sebelah Singaparna. Singapura itu tetap ibukota dari Singapura, ada di atas sana, agak ke kiri, dekat Batam, salah satu pulaunya Indonesia.

Sudah dari akhir dua tahun lalu, ku putuskan bahwa aku akan ke luar negeri, sudah saatnya. Ku tulis kalimat itu di agendaku, pergi ke luar negeri. Luar negeri mana? Belum tahu. Sama siapa? Tidak tahu, yang jelas tidak sendiri, belum berani. Uang darimana? Yang jelas dari Allah. Tahu gimana caranya? Jangan percuma berteman dengan om-om di kantor yang lama tinggal di Eropa. Itu abstraknya, belum menjadi kerangka.

Rangka-rangka belum ada, motivasi tak terduga tiba. Yeyen, one of my gal, mengusung ide, “Gul, kita ke luar negeri yuk natal tahun ini.” Mengapa tahun ini? Karena kami berasumsi bahwa tahun depan kami berdua tak bisa backpacking bersama karena dia akan melanjutkan sekolah ke Swiss, meski pengumuman dari kedutaan belum ada, tapi kami percaya bahwa yang akan terjadi adalah apa-apa yang kami percaya. Kami tidak merayakan natal, jadi bolehlah kami pergi bersama saat natal, sambil membuktikan apakah benar suasana natal di luar negeri cantik nan indah seperti di tv-tv.

Malaysia, adalah negara tujuan pertama yang diajukan Yenq, panggilan rahasiaku untuk Yeyen. Cantik penuh lampu di malam hari, katanya, itu dia lihat waktu transit on the way ke Prancis; jangan tanya tentang cerita dibaliknya, masih tersiksa iri ku dibuatnya, Tanya saja langsung padanya, ya! Hmmm… “Kenapa harus Malaysia?” tanyaku padanya. Yah, kau mungkin bisa menebak alasanku bertanya begitu. Bukan, bukan hanya karena batik dan reog ponorogo, tapi karena Malaysia, menurutku, warga negara yang mendapat informasi hanya dari media negeri sendiri ini, bukan tetangga yang baik. Mengapa? Ya sederhana saja, karena banyak dari mereka tak bisa memperlakukan asisten rumah tangga mereka, yang sudah diimpor jauh-jauh dari negeri tetangga, dengan penuh kasih sayang. Dan lagi, sepertinya sudah cukup lah income Malaysia yang didapat dari Indonesia, kenapa tidak ke negara lain saja? Kan? Kan?

Singapura! Itu usul Dewi, teman kami yang mau ikutan pergi juga katanya. Mengapa Singapura? Karena ada Dinda, adiknya di sana. Ada juga Sufi, suaminya, serta keluarga mereka. Terus kenapa? Ya asik kan? Dewi bisa sekalian megunjungi mereka. Untungnya buat aku dan Yeyen? Bukannya enak, ada kenalan di negeri antah berantah? Ya, siapa tahu, bisa bantu-bantu, gitu. Good idea!

We’re ready, Singapour! We? Siapa saja we? Ada Yeyen, Dewi, Anast, Dian dan aku! Dulu, kami sekelas di kampus, satu jurusan. Sekarang, kami tetap berkawan, ada juga yang bilang bersahabat. Terserah, apa saja labelnya. Tambah banyak peserta, tambah banyak masalah. Kenapa? Ya itu, harus berkompromi terus. Belum pergi saja, kami harus mulai bermusyawarah. Dian tidak bisa pergi saat natal, tak mungkin ambil cuti katanya. Tapi yang lain bisa. Gimana? Kita tinggal Dian saja? Sebagian dari diriku mengatakan iya, sebagian lain jangan. Mengapa? Ya karena pasti semua orang tak suka ditinggalkan, terluka, iya kan? Tak jadi natalan, kami putuskan tahun baruan di sana. Keren juga kan? Kalau ada yang bertanya, ”Tahun baruan di mana loe?” Itu pertanyaan standar di akhir tahun. Gw bisa jawab, ”Singapur.” Widih, keren kan? Kesannya mau ikutan year end sale yang terkenal itu. Haha!

Jadi ingat mata kuliah communication orale zaman kuliah dulu; Qu’est-ce que vous avez besoin pour aller en ailleurs? Passeport, visa, billet d’avion, valise, et bien sure, l’argent! Haha.. Ok, gals, step one; passeport. Anast dan Dian, mari kita kejar ketertinggalan! Paspor oh paspor, bagaimanakah cara mendapatkanmu? Konon katanya hargamu lumayan mahal yah? Eh, itu dulu! Kini tidak lagi. Kata siapa itu ? Pak Noviyan, teman kantorku. ”Gampang kok, Deg! Kamu daftar di website mereka, terus print bukti daftarnya. Nanti kamu tinggal dateng ke kantor imigrasi bawa dokumen asli.” Terdengar mudah, tapi aku masih burem, ”Imigrasi mana, Pak? Bukannya ada banyak? Harus sesuai KTPku yah?” ”Itu dulu, sekarang di mana saja bisa tahu!” Ketinggalan zaman yah? Hehe.. ”Imigrasi Jakarta Selatan aja, Deg! Kepalanya cewek, konon katanya streng! Jadi anak buahnya gak ada yang berani macem-macem. Aku kemarin aja di sana, ngurus sendiri.” Wow! Terdengar keren tuh, ngurus sendiri! ”Berapa, Pak? Mahal?” ”Dua ratus empat puluh ribu saja!” Yipppiiieee!! Ternyata murah, kupikir mahal, sampai lima ratusan ribu. Jadi tambah semangat. Dokumen yang dibutuhkan kartu keluarga, KTP, surat rekomendasi dari kantor dan akta kelahiran; berhubung aktaku hilang, jadi diganti dengan ijazah yang tertera nama orang tuanya. Kami buktikan itu cerita Pak Nov, aku, Dian dan Anast mengurus semua sendiri, datang pagi-pagi biar tetap bisa masuk kantor setelahnya, butuh satu minggu tiga hari dari penyerahan formulir, bayar, foto, wawancara hingga pengambilan paspor. Senangnya; tanpa calo, tanpa mahal, tanpa ribet, tanpa lama. Hidup imigrasi Jakarta Selatan! ^^V


Pasporku, muah muah!


Tante Dian dan paspornya!

-bersambung-

Wednesday, April 7, 2010

Dio dan Nadya

Tok tok tok!
Tak ada orang.
Tok tok tok!
Srok srok srok, langkah berlari.
Tak ada orang.
Tok tok tok!
Kuintip melalui jendela.
Ada gadis kecil, tersenyum lebar, rambutnya mengingatkanku pada Dora.
Kubuka pintu rumahku.
“Halo tante! Tante baru pindah ya?”
“Iya.”
“Kita belum kenalan!”
Senyum manis mengembang lebar, yang kedua kalinya. Tangan kanannya menyambangi tangan kananku.
”Nadya. Tante siapa namanya?”
”Dega.”
Kucoba menandingi senyum pamungkasnya, walau sepertinya bahkan tak mendekati.
“Halo Nadya! Yang barusan ketok-ketok kamu ya?”
”Bukan aku, itu tuh si Dio! Dio sini, kenalan dulu sama tantenya!”
Dari balik tembok di kananku muncul seorang anak laki-laki, lebih tinggi dari Nadya.
”Sini! Ini namanya tante Dega.”
Kuyakin Nadya belum tahu bahwa kemampuannya memperkenalkan orang dengan cara manis seperti ini merupakan kemampuan yang tidak semua orang punya.
Anak manis yang tak mirip dengan Diego, sepupu Dora, ini menjulurkan tangannya.
”Dio.”
”Halo Dio! Aku Dega.”
“Tante siapa?”
“Dega,” jawab aku dan Nadya bersamaan.
“Namanya aneh. Hihihi..”

Keduanya kini berdiri di depanku, tak lagi malu-malu.
“Tante sama siapa di sini?” tanya Nadya.
”Sendiri.”
”Gak takut?” kali ini Dio.
”Nggak.”
”Nadya kelas berapa?”
”Satu,” jawab keduanya.
”Kalau Dio?”
”Tiga,” berdua juga.
”Kalau Tante?”
”Sudah kerja.”
Begitu awal perkenalan kami. Nadya tinggal di kontrakan depan, posisi rumahnya di kiriku. Sedangkan Dio berada di kontrakan yang sama, persis di sebelah kananku. Nadya, aku dan Dio, bertetangga.

Sore itu Minggu, suasana santai yang kusuka. Taksi yang kunaiki berhenti tepat di depan gerbang hitam kontrakan. Itu sepeda pink Nadya didepanku, dengan pemiliknya yang bergegas minggir menghindari taksi. Kuturun sambil memboyong ransel dan tas di kedua tangan. Berusaha untuk menutup pintu rapat dengan sekali dorongan.
”Tante Degaaaa!!”
Jujur, tersentak aku mendengar teriakan yang jika kau di sana, kau pun pasti merasakan kehangatan di dalamnya.
Ditinggalkan sepedanya di aspal, berlari-lari kecil ia menghampiriku. Rambut Doranya bergoyang bersama angin, gigi-giginya mengabsen diri satu per satu. Dia lalu meraih tangan kananku yang mengapit sebuah tas plastik. Tanganku tak sempat menyadarkan diri, hingga tiba-tiba saja sudah mendarat sebuah kecupan di punggungnya. Kecupan manis dari seorang gadis manis.
”Halo, sayang! Main sepeda sama siapa?”
”Sama Dio,” jari telunjuknya mengarah ke dalam gerbang. Menunjukkan Dio yang sedang berlari ke arah kami.
”Tante Dega dari Bandung, ya?”
“Iya, sayang. Kok tahu?”
“Itu ada tulisannya,” Dio menunjuk tulisan Bandung di salah satu tas oleh-olehku. Pintar sekali.
“Iya.”
“Tante ke mana aja? Kita kangen, ya Dio?”
”Iya, sepi gak ada tante Dega.”
Ah, andai kalian tahu jantungku sempat berhenti berdegup mendengarnya.
“Masa sih? Memangnya kalian gak main?”
”Main, tapi gak ada tante Dega.”
”Ini tante sudah pulang. Yuk! Kita main yuk!”
Keduanya lalu berjalan di sisi, menuju rumah kecilku.

Selepas magrib, Dio dan Nadya pergi mengaji bersama di masjid dekat rumah. Panggilan ”Diooooo...” atau ”Nadyaaaa...” menandakan salah satu sudah siap pergi ke masjid. Satu sore menjelang magrib, keduanya sedang asik bermain di halaman yang kemudian terhenti setelah melihatku di teras rumah, menyapu. Dio lebih dulu menghampiriku.
”Tante Dega, banyak yang suka ya?” bukanya.
“Hah? Siapa yang suka sama tante Dega? Hahahaha..”
”Itu, Om Edi,” dengan polosnya dia bercerita. Om Edi adalah teman mamanya yang sering datang dan pernah menyapaku berkali-kali. Entah apa yang diceritakan om Edi ini, tak tahu.
”Satu, om Edi. Siapa lagi?”
”Hmmm... siapa ya? Pasti banyak lagi deh! Iya kan?” matanya bermain nakal.
”Hahahahaha.. Gak ada! Om Edi doank, gak banyak berarti.”
”Aku! Aku suka sama tante Dega!” Itu Nadya yang suaranya melompat masuk.
”Hahahahaha... Aku juga suka sama Nadya, sama Dio juga.”
”Aku beneran, Tante! Aku suka sama tante Dega. Tante baik, gak kayak tante yang dipojok situ!”
”Iya betul!” Pastinya ini Dio yang mengamini.
”Tante cantik, putih lagi! Aku suka banget!” dia meyakinkanku dengan senyum manisnya itu.
Tersanjung? Pastinya.
”Nadya juga cantik. Manis sekali, tante suka!”
”Hahahaha... tante pasti bohong! Nadya kan gak cantik,” Itu Dio. Kadang kejujuran anak kecil itu merepotkan, bukan? Tapi tante jujur, Dio. Nadya itu cantik. Mungkin kalau Dio besar nanti baru sadar kalau Nadya itu cantik.
”Siapa bilang? Nadya cantik kok. Senyumnya manis,” yakinku padanya.
Nadya sedang mengumbar senyum manisnya, kesukaanku.
“Dio juga, kalau senyum manis sekali. Dua-duanya tante suka.”
”Kita juga suka sama tante Dega, ya Dio ya?”
“Iya.”

Aku bercerita bukan dalam rangka riya, seolah-olah memberitahu pada dunia bahwa aku juga ada penggemarnya. Bukan. Aku ingin berbagi, betapa dua adik kecil ini, Dio dan Nadya, yang semalam memintaku membeli jepitan agar jemuranku tidak terbang dan berjatuhan kala siang, membuatku ingin cepat pulang. Iya, pulang.

Monday, April 5, 2010

Bercerita bersama sore – dua puluh

Selamat sore, Sore. Bagaimana kabarmu?
Aku? Alhamdulillah, sehat. Ke mana saja?
Iya, maaf. Agak ribet kemarin, jadi tak sempat mengunjungimu.
Iya, aku juga rindu.
Kulihat semakin cerah saja dirimu belakangan ini. Sedang bahagia ya?
Iya donk, walau tak bercerita, tetap kupandangi mu setiap hari.
Iya, cukup gundah aku, Sore.
Cerita? Bagaimana ya?
Bukan, bukan aku tak mau. Hanya saja bingung mulai dari mana.

Kau kan punya sahabat ya, Sore?
Iya, si senja.
Hmmm....
Bagaimana kalau si senja, sahabatmu, ternyata seorang pencuri?
Iya, pencuri.
Ya terserah, mencuri apa saja. Yang jelas mencuri; mengambil hak orang lain, entah itu barang, manusia, hati, atau binatang, apapun.
Yang jelas, gimana? Ya kau pilih lah salah satu dari contoh yang kuberi tadi.
Ih, kenapa harus aku yang tentukan, sih?
Sejak kapan kau jadi seperti orang dewasa begini? Bercerita harus jelas, semuanya. Tak bisa pakai imajinasi sedikit. Bukankah lebih menyenangkan jika kau turut terbang bersama ceritaku, terbang ke arah manapun yang kau mau. Masa harus aku juga yang jadi navigatornya?
Iya, iya, sudahlah. Kulanjutkan, dengan jelas, cara dewasa.

Bagaimana seandainya jika sahabatmu, senja, suka mencuri hati orang lain yang sudah ada pemiliknya?
Iya, itu, kau pasti tahu maksudku.
Semua orang tahu kalau matahari adalah milik pagi, seorang.
Mereka bersama sejak dulu, merangkai banyak cerita mereka berdua, menerangi dunia, mengajak semua tersenyum bahagia, bahkan senja pun turut merasakan sinarnya.
Tapi tiba-tiba, suatu hari, si senja berkata padamu bahwa dia mencintai matahari, sepenuh hatinya. Hingga ia tahu bahwa hanya matahari lah yang mampu membuatnya bahagia. Dia tak mau yang lain, tak juga mau berbagi sinar mentari dengan siapa-siapa lagi.
Mentari? Entah karena hanya terpukau dengan penyerahan diri seorang senja di tengah kejenuhan cerita bersama pagi, atau benar matahari juga merasakan cinta yang senja punya. Entah. Hingga dia memutuskan meninggalkan pagi untuk bersama senja.
Senja dan mentari kini.
Berbahagia mereka, katanya.

Bagaimana menurutmu, Sore?
Pagi?
Ya tak ada yang peduli dengan nasib sang pagi, apalagi senja. Tak mau tahu dia.
Yang dia tahu hanyalah, mentari kini miliknya, hanya miliknya. Dan mereka berbahagia.
Mentari kemudian bersamanya tiap waktu, melupakan cerita yang pernah terajut bersama pagi, kala mereka bersepakat untuk berkomitmen dan berkolaborasi. Pergi saja ia, seolah semua cerita pagi tak ada artinya. Seolah pagi hanya kata, tanpa rasa. Seolah janji hanya berlaku saat keduanya sepakat berpadu, dan ketika dua menjadi satu, maka janji tak lagi berlaku.

Dan senja, berbagi padamu, Sore. Kau lah yang pertama dicarinya, untuk berbagi suka. Sekedar untuk meluapkan rasa bahagia. Bahagia atas cintanya yang kini tlah bersama.
Senja, tak merasa bahwa dia baru saja mencuri. Mencuri dari pagi.
Senja, seolah berdiri mendongak bangga atas kemenangannya, kemenangan atas nama cinta.
Senja, berkumandang pada semua, bahwa hanya matahari yang mampu membuatnya bahagia.
Senja, tak punya alasan untuk merasa bersalah, karena mentari datang atas maunya.
Senja, menghapus dari ingatan, apa-apa yang dia katakan dan lakukan hingga matahari mau berpaling padanya. Apa-apa yang hanya senja dan Tuhan yang tahu pesan sesungguhnya.
Senja, tak suka disalahkan karena cinta bukan dia yang minta.
Senja, bersikeras tak mau membohongi hatinya dengan berusaha merengkuh mentarinya, lagi-lagi atas nama cinta.

Sore oh Sore, seolah cinta datang hanya untuk melepas dahaga hati.
Moga cinta tak bersedih karena melulu dijadikan tumbal atas kejahatan macam ini.
Moga Tuhan tak menyesal karena telah meniupkan cinta pada senja.
Semoga pagi tak memandang semua makhluk itu seperti senja.
Semoga mentari tak akan mengulang cerita ini dengan senja-senja lainnya.
Moga senja diterangi hati nuraninya dan teringat akan pesan Tuhan pada kita; untuk saling menyayangi, sesama makhlukNya.

Sore oh Sore, kini kau dengar semua gundahku.
Apa yang akan kau lakukan pada senjamu, Sore?
Apa?
Katakan padaku.

Sungguh gulana tak henti menggodaku dengan cerita ini.
Aku benci pencuri, Sore.
Benci.
Aku sayang sahabatku, Sore.
Sepenuh hati.

Apakah aku harus menyayangi seorang pencuri, kini?
Atau membenci sahabatku sendiri?
-bersambung-